DEVOSI KEPADA KERAHIMAN ILAHI
BUKU HARIAN (DAIRI)
SANTA FAUSTINA
PENGENALAN
1.
SANTA MARIA FAUSTINA KOWALSKA
Kini, beliau yang
dikenal di seluruh dunia sebagai “Rasul
Kerahiman Ilahi,” oleh para teolog dimasukkan dalam kalangan mistikus
Gereja yang termasyhur. Ia adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara yang
lahir dalam keluarga petani miskin dan saleh di Glogowiec, sebuah desa di
jantung Polandia. Ketika dibaptis di gereja paroki terdekat, yakni Paroki
Swinice Warckie, ia diberi nama Helena. Sejak masa kanak-kanak ia sangat
menonjol, baik karena kesalehannya, cintanya akan doa, kerajinan dan
ketaatannya, maupun karena kepekaannya yang besar terhadap kemalangan manusia.
Ia hampir tidak dapat menyelesaikan tiga tahun sekolahnya, dan pada usia empat
belas tahun ia meninggalkan keluarga untuk menolong orang tuanya dan mencari
nafkah untuk kehidupannya sendiri dengan menjadi pelayan keluarga di kota-kota
sekitar, yakni Aleksandrow dan Lodz.
Ketika baru berumur
tujuh tahun (dua tahun sebelum komuni pertamanya), Helena sudah merasakan di
dalam jiwanya panggilan untuk merengkuh kehidupan membiara. Ketika kemudian ia
memberitahukan keinginan ini kepada orang tuanya, mereka menolak mentah-mentah
keinginannya untuk masuk biara. Karena situasi ini, Helena berusaha keras untuk
menekan panggilan ilahi ini dalam dirinya. Tetapi, hatinya sangat terketuk
ketika dalam suatu penglihatan ia menyaksikan penderitaan Kristus dan
mendengarkan teguran-Nya, “Berapa lama Aku harus bersabar menunggumu
dan berapa lama engkau akan terus mencobai Aku? (BH, 9); maka ia mulai
mencari sebuah biara untuk bergabung. Ia mengetuk pintu banyak biara, tetapi
tidak satu pun menerimanya. Akhirnya, pada 1 Agustus 1925, Helena memasuki
klausura dalam biara Kongregasi Suster Bunda Allah Kerahiman di Jl. Zytnia di
Warsawa. Dalam buku hariannya ia menyatakan, “Rasanya aku telah menapakkan kakiku di dalam kehidupan Firdaus.
Satu-satunya doa yang menyembur dari hatiku adalah doa syukur.”(Buku Harian
[BH], 17)
Namun, sesudah beberapa pekan, ia mengalami suatu godaan
yang kuat untuk pindah ke kongregasi lain tempat yang ada lebih banyak waktu
untuk berdoa. Oleh karena itu, Tuhan Yesus menampakkan kepadanya wajah yang
terluka dan teraniaya, serta berkata, “Engkaulah yang akan menyebabkan rasa
sakit-Ku ini kalau engkau meninggalkan biara ini. Ke tempat inilah Aku
memanggilmu, bukan ke tempat lain, dan [di sini] Aku telah mempersiapkan banyak
rahmat bagimu.” (BH, 19).
Ketika diterima
dalam kongregasi ini, Helena menerima nama Sr. Maria Faustina. Ia menjalani
novisiatnya di Krakow, dan di sana, di hadapan Uskup Stanislaw Rospond, ia
mengikrarkan kaul pertama. Lima tahun kemudian, ia mengikrarkan kaul kekal,
yakni kaul kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan. Ia ditugaskan untuk bekerja di sejumlah rumah kongregasi,
tetapi paling lama ia bekerja di Krakow, Plock, dan Vilnius; di situ, ia
melaksanakan tugas-tugas sebagai juru masak, tukang kebun, dan penjaga pintu.
Segala kesibukan
lahiriah ini sama sekali tidak mengganggu kehidupan mistiknya yang luar biasa kaya.
Dengan penuh semangat, ia melaksanakan tugas-tugasnya, dan dengan setia ia
mematuhi semua aturan biara; ia selalu tenang dan diam, sembari menunjukkan
penampilan yang alami, ramah, penuh kebaikan dan kasih yang tulus kepada
sesama.
Seluruh hidupnya dipusatkan pada upaya terus
menerus untuk menjalin kesatuan yang semakin penuh dengan Allah dan pada kerja
sama dalam mengurbankan diri bersama Yesus demi karya penyelamatan jiwa-jiwa. “Ya Yesusku,” tulis Sr. Faustina dalam
Buku Harian, “Engkau tahu bahwa sudah
sejak usia belia aku mempunyai keinginan untuk menjadi santa yang besar;
maksudku, aku telah mempunyai keinginan untuk mencintai Engkau dengan cinta
yang sedemikian besar sehingga tidak akan ada jiwa lain yang mencintai Engkau
seperti aku.” (BH, 1372).
Buku Harian
mengungkapkan betapa dalamnya kehidupan spiritualitasnya. Orang yang membaca
catatan-catatan ini dengan penuh perhatian akan mendapatkan gambaran tentang
tingginya tingkat kesatuan jiwa Sr. Faustina dengan Allah, baik pendampingan
Allah yang senantiasa menyertai jiwanya, maupun usaha-usaha dan perjuangannya
pada jalan menuju kesempurnaan kristiani. Kepadanya, Tuhan memberikan rahmat
yang besar: yakni rahmat kontemplasi, pengetahuan yang mendalam tentang misteri
kerahiman Allah, penampakan-penampakan, wahyu, stigmata tersembunyi, rahmat
nubuat dan kemampuan untuk membaca jiwa manusia, dan juga rahmat langka dalam
bentuk pertunangan mistik. Sungguh berlimpah anugerah yang ia terima. Meskipun
demikian, inilah yang ia tulis, “Bukan
rahmat, bukan wahyu, bukan penampakan, bukan anugerah yang membuat suatu jiwa
menjadi sempurna, tetapi lebih-lebih kesatuan mesra jiwa itu dengan Allah. ...
Kesucian dan kesempurnaanku ada pada kesatuan erat antara kehendakku dan
kehendak Allah” (BH, 1107).
Cara hidup yang
keras dan puasa-puasa yang berat, yang ia paksakan atas dirinya bahkan sebelum
bergabung dengan kongregasi, memperlemah organisme tubuhnya sedemikian rupa
sehingga sudah dalam masa postulannya ia
harus dikirim ke Skolimow dekat Warsawa untuk memulihkan kesehatannya.
Menjelang akhir tahun pertama novisiat, ia mendapat pengalaman mistik yang luar
biasa menyedihkan yang ia sebut malam kelam, dan kemudian mengalami penderitaan
spiritual serta moral yang terkait dengan penyempurnaan misi yang ia terima dari
Kristus Tuhan, Suster Faustina mengurbankan seluruh hidupnya sebagai korban
bagi orang-orang berdosa, dan dalam hubungan ini ia juga menanggung aneka
penderitaan supaya lewat semua itu ia dapat membantu jiwa-jiwa mereka. Selama
tahun-tahun terakhir hidupnya, penderitaan batin yang disebut malam-pasif jiwa
dan penyakit ragawi semakin menghebat. Tuberkulosis yang semakin parah
menyerang paru-paru dan saluran pencernaannya. Karena alasan ini, dua kali ia
menjalani perawatan beberapa bulan di rumah sakit di Pradnik, Krakow.
Dalam keadaan fisik
yang sangat rapuh, tetapi secara spiritual sungguh matang, ia meninggal sebagai
orang suci, disatukan secara mistik dengan Allah, pada tanggal 5 Oktober 1938,
pada usia yang belum mencapai 33 tahun, sesudah menjadi biarawati selama 13
tahun. Jasadnya dibaringkan untuk beristirahat dalam kubur bersama di pemakaman
biara di Krakow-Lagiewniki. Pada tahun 1966, dalam proses pengumpulan informasi
untuk beatifikasi Sr. Faustina, jasadnya dipindahkan ke kapel biara.
Kepada biarawati
sederhana, yang tidak terpelajar tetapi pemberani, dan yang percaya kepada
Allah tanpa batas ini, Tuhan kita, Yesus Kristus, mempercayakan misi agung
untuk memaklumkan amanat kerahiman-Nya kepada seluruh dunia. “Sekarang,”
kata Tuhan kepada Sr. Faustina, “Aku mengutus engkau membawa kerahiman-Ku
kepada umat manusia di seluruh dunia. Aku tidak ingin menghukum umat manusia
yang sedang sakit. Sebaliknya, Aku ingin menyembuhkan mereka, sambil mendekap
mereka ke
Hati-Ku yang maharahim” (BH, 1588). “Engkau adalah juru tulis
kerahimanKu. Aku telah memilih engkau untuk tugas ini, baik dalam kehidupan
sekarang maupun dalam kehidupan yang akan datang” (BH, 1605)... untuk
memperkenalkan kepada jiwa-jiwa kerahiman agung-Ku bagi mereka dan untuk
mendorong mereka agar percaya akan kerahiman-Ku yang tanpa batas” (BH,
1567).
2.
TELADAN KESEMPURNAAN KRISTIANI
Spiritualitas Sr.
Faustina berlandaskan misteri iman kita yang paling indah; misteri itu
berbicara mengenai kasih kerahiman Allah kepada masing-masing manusia. Suster
Faustina - dengan menuruti pedoman Konstitusi hidup membiara - sering
merenungkan apa yang dilakukan Allah bagi manusia pada saat penciptaannya, apa
yang diderita oleh Allah demi keselamatan kita, harta apa yang ditinggalkan-Nya
bagi kita dalam Gereja yang kudus, dan apa yang disiapkan-Nya bagi kita dalam
kemuliaan ilahi. Gema perenungan itu terdapat dalam Buku Harian yang berbicara mengenai kebaikan Allah dalam karya
penciptaan (BH, 1749), dalam penciptaan para malaikat (BH, 1741-1742) dan manusia
(BH, 1743-1744), dalam misteri penjelmaan dan kelahiran Putra Allah (BH,
1745-1746) serta dalam karya penebusan (BH, 1747-1748). Suster Faustina
merenungkan misteri-misteri kerahiman ilahi bukan hanya berdasarkan teksteks
Kitab Suci, tetapi juga dengan membaca kitab kehidupan. Renunganrenungan
tentang kerahiman ilahi yang demikianlah mengantarkannya kepada kesimpulan
bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada sesaat pun tanpa kerahiman ilahi;
kerahiman ilahi itu adalah bagaikan benang emas yang terjalin dengan semua saat
keberadaan kita.
Pengenalan misteri iman itu mengantarkan Sr.
Faustina kepada kemampuan menemukan Allah dalam jiwanya. “Lubuk jiwaku laksana suatu dunia yang luas dan indah; di sana Allah
dan aku hidup bersama. Selain Allah, tidak seorang pun diizinkan masuk ke
dalamnya” (BH, 582). Suster Faustina membandingkan jiwanya dengan
tabernakel, tempat Hosti yang hidup tersimpan. “Aku tidak mencari kebahagiaan di luar batinku sendiri karena di
sinilah Allah bersemayam,” tulisnya dalam Buku Harian. “Aku bersukacita
bahwa Allah bersemayam di dalam diriku; di sini aku senantiasa tinggal bersama
Dia; di sinilah aku mengalami hubungan yang paling mesra dengan Dia; di sini
aku merasa aman karena tinggal bersama-Nya; inilah tempat yang tidak dilihat
oleh mata insani. Perawan Tersuci mendorong aku untuk bersatu dengan Allah
dengan cara ini” (BH, 454). Kontemplasi Allah yang hidup di dalam jiwa
ditopang olehnya dengan usaha tetap dan setiap hari, yang intinya ialah bersatu
dengan Yesus melalui suatu doa pendek atau dengan mempersembahkan kepada-Nya
apa yang sedang dialaminya (kerja, penderitaan, sukacita).
Pengenalan misteri
kerahiman ilahi membangkitkan dan menumbuhkan dalam jiwanya sikap berharap akan
Tuhan Allah dan sekaligus keinginan untuk mengukir sifat ilahi itu di dalam
hatinya sendiri dan dalam tindakan belas kasihan terhadap sesama. Tuhan Yesus,
yang membimbing hidup rohaninya secara langsung, menuntut dari Sr. Faustina
sikap yang demikian terhadap Allah dan sesama manusia. “Putri-Ku, kalau melalui engkau
Aku minta agar manusia menghormati kerahiman-Ku, hendaknya engkau menjadi orang
pertama yang unggul dalam harapan kepada kerahiman-Ku ini. AKu minta agar
engkau melaksanakan perbuatan-perbuatan kerahiman, yang harus muncul dari kasih
kepada-Ku. Kapan saja dan di mana saja, engkau harus mengamalkan belas kasihan
kepada sesama. Engkau tidak boleh menghindarinya atau berusaha mencari-cari
dalih untuk membebaskan diri darinya (BH, 742).
Pengharapan bagi Sr.
Faustina tidak searti dengan suatu perasaan suci, atau suatu penerimaan
kebenaran iman dengan akal budi, tetapi keseluruhan pola hidup manusia di
hadapan Tuhan Allah, yang menyatakan dirinya dalam melaksanakan kehendak ilahi
yang tercakup dalam perintah-perintah, tugastugas harian, atau dalam ilham-ilham
Roh Kudus yang telah dipahami. Orang yang mengenal misteri kerahiman ilahi tahu
betul bahwa Allah selalu menghendaki kebaikan manusia dalam perspektif
kekekalan; karena itulah ia menerimanya sebagai pemberian dan dengan penuh
harapan. “Ada satu kata yang aku
perhatikan dan terus menerus aku renungkan; kata itu adalah kehendak kudus
Allah. Ia adalah makananku sehari-hari. Seluruh jiwaku mendengarkan dengan
penuh perhatian kepada kehendak Allah. Aku selalu melakukan apa yang diminta
Allah dariku meskipun naluriku sering kali gemetar dan aku merasakan bahwa
kebesaran hal-hal ini melampaui kekuatanku” (BH, 652).
Pengharapan (“Engkau andalanku!”) dalam spiritualitas
Sr. Faustina menjadi gambaran relasinya dengan Allah, sedangkan kata “belas kasih” menunjukkan sikapnya
terhadap manusia yang lain. Sumber, contoh, dan motivasi untuk berbelas kasih
terhadap manusia ialah kerahiman ilahi. Inilah sebabnya belas kasih secara amat
jelas berbeda dari sikap memberi secara alamiah dan berbeda sekali dari filantropi
yang bisa beragam motivasinya. Suster Faustina menangkap keindahan dan
kebesaran belas kasih kristiani yang mengambil bagian dalam kerahiman ilahi;
itulah sebabnya ia ingin memancarkannya. “O
Yesusku” - ia berdoa - “setiap orang
kudus-Mu memancarkan salah satu keutamaan-Mu; aku ingin memancarkan hati-Mu
yang pemurah, penuh kerahiman; aku ingin memuliakannya. Biarlah kerahimanMu, O
Yesus, tercetak dalam hatiku dan dalam jiwaku ibarat suatu meterai, dan ini
akan menjadi lencanaku dalam kehidupan yang sekarang dan yang akan datang” (BH,
1242). Dalam menunjukkan belas kasihan, ia mengikuti Yesus sampai salib; di
situ ia mengorbankan hidupnya; di situ ia mengurbankan hidupnya demi kehidupan
orang-orang berdosa, terutama jiwa-jiwa yang terancam keselamatannya.
Spiritualitas Sr.
Faustina mempunyai pula ciri kecintaan pada Gereja sebagai Bunda terbaik dan
Tubuh Mistik Kristus, karisma pendekatan misteri kerahiman ilahi melalui
perkataan, perbuatan dan doa, khususnya doa untuk jiwa-jiwa yang hilang, juga
kecintaan pada Ekaristi dan devosi tulus kepada Bunda Allah Kerahiman.
Di sekolah
spiritualitas Sr. Faustina, orang dapat mengenali misteri kerahiman ilahi,
belajar kontemplasi Allah dalam hidup sehari-hari, melatih diri dalam sikap
penuh pengharapan terhadap Tuhan Allah dan berbelas kasih terhadap sesama,
menghayati relasi dengan Yesus dalam Ekaristi dan dengan Bunda Maria. Inilah
spiritualitas yang sangat dalam berakar dalam Injil, dan sekaligus mudah dan
mungkin dipraktikkan dalam setiap jenis panggilan dan lingkungan; itulah
alasannya spiritualitas ini menarik begitu banyak orang pada masa kini.
3.
MISI SANTA FAUSTINA
Suster Faustina
dipilih oleh Tuhan Yesus sebagai juru tulis dan rasul kerahiman-Nya; melalui
dia, Tuhan menyampaikan amanat-Nya yang agung kepada seluruh dunia. “Dalam
Perjanjian Lama, Aku mengutus para nabi yang membawa ancaman-ancaman kepada
umat-Ku. Sekarang, Aku mengutus engkau membawa kerahiman-Ku kepada umat manusia
di seluruh dunia. Aku tidak ingin menghukum umat manusia yang sedang sakit.
Sebaliknya, Aku ingin menyembuhkan mereka, sambil mendekapkan mereka ke Hati-Ku
yang maharahim” (BH, 1588).
Misi
Sr. Faustina mencakup tiga tugas:
1.
Mendekatkan dan memberitakan kepada dunia
kebenaran yang sudah diwahyukan dalam Kitab Suci tentang kasih maharahim Allah
kepada setiap manusia;
2.
Memohon kerahiman ilahi bagi seluruh dunia,
antara lain melalui praktikpraktik yang disampaikan oleh Tuhan Yesus dalam
bentuk-bentuk baru devosi kepada Kerahiman Ilahi, yaitu melalui gambar
Kerahiman Ilahi dengan tulisan, Yesus, Aku Percaya Kepada-Mu, pesta Kerahiman
Ilahi pada Hari Minggu pertama sesudah Paskah, Koronka kepada Kerahiman Ilahi
dan doa Jam Kerahiman Ilahi.
3.
Mengilhami Kerasulan Kerahiman Ilahi yang
mewajibkan diri memberitakan dan memohon kerahiman ilahi bagi dunia sambil
mengusahakan kesempurnaan dengan cara yang ditunjuk oleh Sr. Faustina, yaitu
sikap mengandalkan Allah seperti anak kecil, yang terungkap dalam melaksanakan
kehendak-Nya serta sikap penuh belas kasih terhadap setiap sesama.
Buku Harian Sr. Faustina, yang atas perintah Yesus Kristus ia tulis
selama empat tahun terakhir dalam hidupnya, adalah semacam catatan harian;
dalam buku ini, penulis merekam kejadian-kejadian yang ia alami atau yang ia
renungkan kembali terutama yang berkaitan dengan “perjumpaan-perjumpaan” jiwanya dengan Allah. Diperlukan suatu
analisis saksama dan ilmiah atas buku harian ini untuk menarik darinya segala
sesuatu yang dianggap hakiki dalam misinya.
Analisis karya ini
dilakukan oleh pakar teologi yang menonjol dan sangat disegani, Pastor Profesor
Ignatius Rozycki, Pr. Suatu kesimpulan singkat dari karya ilmiah dan
teologisnya diterbitkan dengan judul Kerahiman
Ilahi: Ciri-ciri Dasariah Devosi kepada Kerahiman Ilahi, sedangkan teks
lengkap tentang devosi ini terdapat dalam bukunya berjudul Devosi kepada
Kerahiman Ilahi.
Dibandingkan dengan
karya teologis yang penting ini, semua terbitan terdahulu mengenai devosi Kerahiman
Ilahi, yang disampaikan kepada kita oleh Sr. Faustina, tampak hanya berhubungan
dengan beberapa unsurnya atau dengan hal-hal yang lebih sekunder. Misalnya,
sebagai contoh, penekanan diberikan kepada Litani atau Novena kepada Kerahiman
Ilahi, dengan mengesampingkan Jam Kerahiman.
Pastor Rozycki menarik perhatian kita kepada
kenyataan ini dengan berkata, “Sebelum
kita sendiri sungguh-sungguh akrab dengan unsur-unsur khas devosi Kerahiman
Ilahi, kita perlu memperhatikan bahwa di antara unsur-unsur itu tidak ditemukan
novena atau litani yang dikenal dan digemari itu.”
Alasan utama untuk
memilih doa-doa dan praktik religius ini, dan bukan yang lain, sebagai
bentuk-bentuk baru devosi Kerahiman Ilahi adalah janji-janji khusus yang
dikaitkan dengannya; Tuhan Yesus berjanji akan memenuhinya asalkan orang
sungguh mempraktikkannya dengan sikap berharap pada kebaikan dan berbelas kasih
kepada sesamanya. Pastor Rozycki menunjukkan bahwa ada lima unsur dalam devosi kepada Kerahiman Ilahi.
GAMBAR YESUS
YANG MAHARAHIM
Bentuk gambar ini diwahyukan dalam penglihatan
yang dilami Sr. Faustina pada tanggal 22 Februari 1931, di dalam kamar biaranya
di Plock. “Sore itu, ketika aku berada di
dalam kamarku, aku melihat Tuhan Yesus berpakaian jubah putih. Tangan kanan-Nya
terangkat seperti sikap memberi berkat, sedangkan tangan kiri-Nya menyentuh
jubahnya pada bagian dada. Dari balik jubah itu, terpancarlah dua sinar besar:
yang satu berwarna merah dan yang lain berwarna pucat. ... Tidak lama kemudian
Tuhan berkata kepadaku, ‘Lukislah sebuah gambar tepat seperti yang
engkau lihat ini, dengan tulisan di bawahnya: Yesus, Aku Percaya Kepada-Mu’!”
(BH, 47). “Aku menghendaki agar gambar itu .... diberkati secara meriah pada hari
Minggu pertama sesudah Paskah; Hari Minggu itu harus menjadi Pesta Kerahiman” (BH,
49).
Karena alasan ini,
isi gambar ini sangat erat terkait dengan liturgi Hari Minggu kedua Paskah.
Pada hari ini, Gereja membaca Injil Yohanes tentang Kristus yang bangkit yang
menampakkan diri di Ruang Atas dan tentang penetapan Sakramen Tobat (Yoh 20:
19-29). Oleh karena itu, gambar ini menampilkan Juru Selamat yang bangkit dari
antara orang mati, yang membawa damai sejahtera kepada manusia melalui
pengampunan dosa berkat sengsara dan kematian-Nya di salib.
Pancaran darah dan
air yang mengalir dari Hati yang ditikam dengan tombak (tidak terlihat dalam
gambar) dan goresan-goresan akibat luka-luka penyaliban mengingatkan kita akan
peristiwa Jumat Agung (Yoh 19: 17-18; 3337). Maka gambar Juru Selamat yang
Maharahim ini memadukan dua peristiwa Injil yang secara paling jelas
mengungkapkan kepenuhan kasih Allah bagi umat manusia.
Kedua berkas sinar
adalah unsur mencolok dari Gambar Yesus yang Maharahim. Tuhan Yesus, ketika
ditanyai mengenai arti kedua sinar itu, menjelaskan, “Sinar pucat melambangkan air
yang menguduskan jiwa-jiwa. Sinar merah melambangkan darah yang memberikan
kehidupan kepada jiwajiwa. ...Berbahagialah orang yang bernaung dalam kedua
sinar ini” (BH, 299). Sakramen Baptis dan Sakramen Tobat memurnikan jiwa.
Sakramen Ekaristi menyediakan makanan secara sangat melimpah. Dengan demikian,
kedua sinar itu melambangkan sakramen-sakramen kudus dan segala rahmat Roh
Kudus, yang simbol biblisnya adalah air, sebagaimana Perjanjian Baru antara
Allah dan manusia diikat dalam Darah Kristus.
Gambar Yesus yang
Maharahim itu sering kali disebut “Gambar
Kerahiman Ilahi,” yang memang tepat karena persis dalam misteri Paskah,
Kristus sang kasih Allah kepada umat manusia dinyatakan
secara paling ekspisit.
Gambar ini tidak
hanya mengungkapkan Kerahiman Ilahi, tetapi juga menjadi tanda untuk
mengingatkan kewajiban kristiani, yakni berserah kepada Allah dan aktif
mengasihi sesama. Berkat kehendak Kristus, gambar ini disertai tulisan “Yesus,
Aku Percaya Kepada-Mu.” Yesus juga menjelaskan, “Gambar itu dimaksudkan untuk
mengingatkan orang akan tuntutan-tuntutan kerahimanKu sebab bahkan iman yang
paling kuat pun akan sia-sia kalau tidak disertai dengan perbuatan”
(BH, 742).
Kepada orang yang
menghormati gambar ini sebagaimana dijelaskan di atas, yakni dengan didasari
sikap mengandalkan dan mengamalkan belas kasih, Tuhan kita memberikan
janji-janji khusus, yakni keselamatan kekal, kemajuan pesat di jalan
kesempurnaan kristiani, rahmat kematian yang bahagia, dan segala rahmat lain
yang akan diminta kepada-Nya dengan penuh pengharapan. “Melalui Gambar itu, Aku akan
memberikan banyak rahmat kepada jiwa-jiwa; oleh karena itu, biarlah setiap jiwa
mendapat kesempatan untuk menghampirinya” (BH, 570).
PESTA
KERAHIMAN ILAHI
Pesta ini menduduki
peringkat paling tinggi di antara semua unsur Devosi Kerahiman Ilahi yang
diwahyukan kepada Sr. Faustina. Penetapan pesta ini dituntut oleh Tuhan Yesus
untuk pertama kalinya di Plock pada tahun 1931 saat Ia menyampaikan
kehendak-Nya mengenai pelukisan Gambar Yesus yang Maharahim. “Aku
merindukan adanya Pesta Kerahiman. Aku menghendaki agar gambar yang akan engkau
lukis dengan kuas itu diberkati secara meriah pada hari Minggu pertama sesudah
Paskah; Hari Minggu itu harus menjadi Pesta Kerahiman” (BH, 49).
Pemilihan Hari
Minggu pertama sesudah Paskah untuk Pesta Kerahiman memiliki makna teologis
yang sangat mendalam, yang menunjukkan hubungan erat antara Misteri Paskah
Penebusan dan misteri Kerahiman Ilahi. Hubungan integral ini selanjutnya ditekankan
dalam Novena Koronka kepada Kerahiman Ilahi yang dimulai pada Jumat Agung
sebagai suatu persiapan untuk Pesta Kerahiman.
Pesta ini tidak
hanya merupakan hari khusus untuk menghormati Allah dalam misteri
kerahiman-Nya, tetapi juga menjadi masa rahmat bagi semua orang. Tuhan Yesus
berkata, “Aku ingin agar Pesta Kerahiman ini menjadi tempat pengungsian dan
pernaungan bagi semua jiwa, khususnya bagi para pendosa yang malang”
(BH, 699). “Jiwa-jiwa pada binasa meskipun sengsaraKu amat pahit. Maka, kepada
mereka Aku memberikan harapan terakhir untuk selamat, yakni Pesta Kerahiman-Ku.
Kalau mereka tidak mau memuliakan Kerahiman-Ku, mereka akan binasa untuk
selama-lamanya” (BH,965, baca juga 998).
Keagungan pesta ini
diukur atas dasar janji-janji luar biasa yang dilekatkan pada pesta ini. Yesus
berkata, “...Barangsiapa, pada hari ini, menghampiri Sumber Kehidupan ini, ia
akan menerima pengampunan penuh atas dosadosanya dan dibebaskan dari hukuman”
(BH, 300), dan juga, “Pada hari itu, terbukalah lubuk kerahiman-Ku,
dan Aku meluapkan seluruh samudra rahmat ke atas jiwa-jiwa yang menghampiri
sumber kerahiman-Ku. ... Janganlah ada jiwa yang takut menghampiri Aku meskipun
dosa-dosanya laksana kain yang merah padam” (BH, 699).
Untuk memetik
manfaat dari karunia-karunia agung itu perlu dipenuhi syarat-syarat devosi
Kerahiman Ilahi, yaitu mengandalkan kebaikan Allah dan aktif mengasihi sesama,
berada dalam keadaan rahmat pengudus - telah pergi ke pengakuan dosa, dan
pantas menerima komuni kudus. Yesus menjelaskan, “Tidak satu jiwa pun akan
dibenarkan sebelum ia berpaling kepada kerahiman-Ku dengan penuh kepercayaan.
Inilah sebabnya Hari Minggu pertama sesudah Paskah harus dirayakan sebagai
Pesta Kerahiman. Pada hari itu, para imam harus memberitahukan kepada setiap
orang kerahiman-Ku yang agung dan tak terselami” (BH, 570).
KORONKA
KEPADA KERAHIMAN ILAHI
Doa ini didiktekan
kepada Suster Faustina oleh Tuhan Yesus sendiri di Vilnius pada 13-14 September
1935, sebagai suatu doa tobat dan doa untuk meredakan murka Allah. (lihat BH,
474-476).
Mereka yang
mendaraskan doa ini mempersembahkan kepada Allah Bapa “Tubuh dan Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an” Yesus Kristus sebagai
pendamaian untuk dosa-dosa mereka sendiri, dosa-dosa orang-orang yang mereka
kasihi, dan dosa-dosa seluruh dunia. Dengan menyatukan diri dalam kurban Yesus,
mereka berseru kepada kasih agung yang dimiliki Bapa surgawi kepada PutraNya
dan, lewat Dia, kepada seluruh umat manusia.
Melalui doa ini,
para pemohon meminta kerahiman Allah “atas
kami dan atas seluruh dunia,” dan dengan berbuat demikian, mereka
melaksanakan suatu karya belas kasihan. Apabila kaum beriman melaksanakannya
dengan penuh iman dan memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan setiap doa
yang baik (kerendahan hati, ketekunan, permohonan yang selaras dengan kehendak
Allah), mereka dapat berharap akan menerima pemenuhan janji Kristus yang secara
khusus dikaitkan dengan jam kematian-Nya: rahmat pertobatan dan kematian yang
tenang.
Bukan hanya orang
yang mendaras doa ini yang akan menerima rahmat itu, tetapi juga orang-orang
yang menghadapi ajal apabila di dekatnya orang mendaras doa ini. Tuhan berkata,
“Kalau
Koronka ini didaras di dekat pembaringan orang yang sedang menghadapi ajal,
murka Allah akan dipadamkan dan kerahiman yang tak terselami akan meliputi
jiwanya” (BH, 811). Janji umum Tuhan berbunyi, “Dengan senang hati, Aku akan
memberikan semua yang mereka minta kepada-Ku lewat pendarasan Koronka”
(BH,1541) ... kalau yang engkau minta itu selaras dengan kehendak-Ku”
(BH,1731). Sebab, apa saja yang tidak selaras dengan kehendak Allah tidaklah
baik bagi manusia, khususnya untuk kebahagiaan kekal mereka.
Pada kesempatan
lain, Yesus berkata, “... dengan mendaraskan Koronka engkau
mengantar umat manusia semakin dekat kepada-Ku” (BH, 929), dan lagi, “Orang-orang
yang mendaraskan Koronka ini akan direngkuh oleh kerahiman-Ku sepanjang masa
hidupnya, dan teristimewa pada saat kematian mereka” (BH, 754).
JAM KERAHIMAN
Pada bulan Oktober
1937, di Krakow, dalam suasana yang tidak dilukiskan dengan jelas oleh
Sr.Faustina, Tuhan Yesus meminta agar ia menghormati jam kematian-Nya, “...
setiap kali engkau mendengar bunyi jam yang menunjukkan pukul tiga petang,
benamkanlah dirimu sepenuhnya dalam kerahiman-Ku sambil menyembah dan
memuliakannya; mohonlah bantuannya yang mahakuasa bagi seluruh dunia, khususnya
bagi orang-orang berdosa yang malang, sebab pada saat ini, kerahiman-Ku terbuka
lebar bagi setiap jiwa” (BH, 1572).
Tuhan Yesus juga
menentukan doa-doa yang cocok untuk bentuk Devosi Kerahiman Ilahi, “...
berusahalah sebaik-baiknya untuk melaksanakan Jalan Salib pada jam ini, asal
saja tidak terhalang oleh tugas-tugasmu; kalau tidak mungkin melaksanakan Jalan
Salib, sekurang-kurangnya masuklah ke kapel barang sejenak dan sembahlah
Hati-Ku yang penuh kerahiman dalam Sakramen Mahakudus; dan kalau untuk masuk ke
kapel pun tidak mungkin, di mana pun kebetulan engkau berada, benamkanlah
dirimu dalam doa, biarpun hanya sebentar” (BH, 1572).
Pastor Rozycki
merinci tiga syarat agar doa-doa yang dilambungkan pada jam ini dapat
dikabulkan:
1. Doa-doa
itu harus ditujukan kepada Yesus.
2. Doa-doa
itu harus diucapkan pada pukul tiga petang.
3. Doa-doa
itu harus didasarkan pada nilai dan pahala sengsara Kristus.
Tuhan Yesus
berjanji, “Pada jam ini, engkau dapat memperoleh segala sesuatu bagi dirimu
sendiri dan bagi orang-orang lain yang engkau doakan; inilah saat rahmat bagi
seluruh dunia - saat kerahiman yang mengalahkan keadilan” (BH, 1572).
MENYEBARLUASKAN
DEVOSI KEPADA KERAHIMAN ILAHI
Dalam membahas unsur-unsur
hakiki devosi Kerahiman Ilahi, Pastor Rozycki juga menyebut penyebarluasan
devosi kepada Kerahiman Ilahi sebagai salah satu unsur karena sejumlah janji
Kristus dikaitkan juga dengan unsur ini, “Jiwa-jiwa yang menyebarkan devosi kepada
Kerahiman Ilahi akan Kulindungi seumur hidupnya seperti seorang ibu yang penuh
kasih sayang melindungi bayinya; dan pada saat kematiannya, Aku tidak akan
tampil sebagai Hakim bagi mereka, tetapi sebagai Juru Selamat yang maharahim”
(BH, 1075).
Hakikat Devosi
kepada Kerahiman Ilahi ditemukan dalam sikap pengharapan kepada Allah dan dalam
sikap belas kasih nyata terhadap sesama. Tuhan Yesus berkata, “Aku
menginginkan kepercayaan dari segala ciptaan-Ku”
(BH, 1059), dan Ia mengharapkan mereka mengamalkan belas
kasihan lewat perbuatan, perkataan, dan doa-doa. Dan lebih lanjut Ia berkata, “Kapan
saja dan di mana saja, engkau harus mengamalkan belas kasihan kepada sesama.
Engkau tidak boleh menghindarinya atau berusaha mencari-cari dalih untuk
membebaskan diri darinya” (BH, 742). Kristus menghendaki agar semua
orang yang berbakti kepada-Nya setiap hari melaksanakan sekurang-kurangnya satu
tindakan belas kasih kepada sesama.
Penyebarluasan
Devosi kepada Kerahiman Ilahi tidak menuntut banyak kata-kata, tetapi selalu
menuntut sikap kristiani, yakni mengandalkan Allah, serta terus menerus menjadi
semakin berbelas kasih. Dalam masa hidupnya, Sr.Faustina memberikan teladan
karya kerasulan seperti itu.
KERASULAN
KERAHIMAN ILAHI
Devosi kepada
Kerahiman Ilahi dalam bentuk-bentuk yang disampaikan oleh Sr.Faustina,
bertujuan membarui kehidupan religius di dalam Gereja dalam semangat
pengharapan dan belas kasihan. Dalam konteks inilah gagasan tentang “kongregasi baru” yang kita baca dalam
lembar-lembar Buku Harian harus
dipahami. Keinginan Kristus ini secara bertahap menjadi matang dalam pemikiran
Sr.Faustina sendiri, dan mengalami sejumlah perkembangan - dari ordo
kontemplatif yang ketat meluas ke suatu gerakan yang menampung juga kongregasi-kongregasi
aktif (laki-laki dan perempuan), dan bahkan juga gerakan kaum awam.
Komunitas umat
manusia yang besar, transnasional, ini adalah satu keluarga, yang telah
disatukan, pertama-tama oleh Allah dalam misteri kerahiman-Nya, dan kemudian
oleh kerinduan manusia, baik untuk memancarkan kerahiman itu dalam hati dan
karya mereka sendiri maupun oleh kerinduan agar kemuliaan Allah terpancar dalam
semua jiwa. Itulah komunitas umat manusia yang menempuh beragam jalan,
tergantung pada status hidup dan panggilan mereka (imam, biarawan/wati, awam),
yang dihidupi oleh citacita Injil, yakni pengharapan dan belas kasih, yang
memaklumkan misteri kerahiman Allah yang tak terselami lewat kehidupan dan
tutur kata mereka, dan yang memohon Kerahiman Ilahi bagi dunia.
Komunitas itu
terbentuk oleh kongregasi-kongregasi, komunitaskomunitas,
perkumpulan-perkumpulan, lembaga-lembaga, dan orang-orang yang tak bergabung
pada perkumpulan mana pun, pendeknya oleh semua orang yang telah melibatkan
diri agar misi Sr.Faustina dapat terlaksana.
Demi kemuliaan Kerahiman Ilahi yang
semakin besar!
Krakow, April 2002
Sr.
M. Elzbieta Siepak ZMBM
Sumber: Buku
Harian Santa Faustina, 2012, Kanisius.
No comments:
Post a Comment