Saturday, February 25, 2023

BHSF 301 - 400

 (301) “Maklumkanlah bahwa kerahiman adalah sifat Allah yang paling tinggi. Kerahimanlah mahkota segala karya tangan-Ku.”


(302) O Kasih Abadi, aku ingin semua jiwa yang telah Kauciptakan mengenal Engkau. Aku ingin menjadi seorang imam karena dengan demikian aku dapat berbicara tanpa henti mengenai kerahiman-Mu kepada jiwa-jiwa yang berdosa yang tenggelam dalam keputusasaan. Aku ingin menjadi seorang misionaris dan membawa terang iman kepada bangsa-bangsa yang terbelakang untuk memperkenalkan Engkau kepada jiwa-jiwa. Aku ingin menghabiskan seluruh tenagaku bagi mereka dan mati sebagai seorang martir, sama seperti Engkau mati bagiku dan bagi mereka. Ya Yesus, aku tahu dengan baik bahwa aku dapat menjadi seorang imam, seorang misionaris, seorang pengkhotbah, dan bahwa aku dapat mati sebagai seorang martir kalau aku menghampakan diriku sepenuhnya dan dengan menyangkal diriku karena cinta akan Dikau, ya Yesus, dan karena cintaku kepada jiwa-jiwa yang kekal.

(303) Cinta yang besar dapat mengubah hal-hal kecil menjadi hal-hal besar, dan hanya cintalah yang memberikan makna kepada kegiatan-kegiatan kita. Dan semakin murni cinta kita, semakin kecil umpan untuk nyala api penderitaan di dalam diri kita, dan penderitaan tidak lagi menjadi penderitaan bagi kita; penderitaan akan menjadi suatu sukacita! Berkat rahmat Allah, aku telah menerima keterbukaan hati seperti itu sehingga aku tidak pernah sedemikian bahagia seperti ketika aku menderita bagi Yesus, yang aku cintai dengan setiap detak jantungku. Pernah ketika aku sedang menderita, aku meninggalkan pekerjaanku dan melarikan diri kepada Yesus dan minta kepada-Nya untuk memberikan kepadaku kekuatan-Nya. Sesudah doa yang sangat singkat, aku kembali ke pekerjaanku dengan penuh semangat dan sukacita. Kemudian, salah seorang dari para suster berkata kepadaku, “Hari ini Suster kelihatan begitu berseri-seri. Pasti, Allah tidak lagi memberimu penderitaan, tetapi hanya penghiburan.” “Suster salah besar,” jawabku, “karena justru pada saat banyak menderita aku lebih bersukcita; dan apabila penderitaanku berkurang, sukacitaku juga kurang.” Tetapi, jiwa itu memberi isyarat kepadaku bahwa ia tidak memahami apa yang kukatakan. Aku berusaha menjelaskan kepadanya bahwa ketika kita banyak menderita, kita memiliki kesempatan yang besar untuk menunjukkan kepada Allah bahwa kita mencintai Dia; tetapi ketika kita menderita sedikit, lebih kecillah kesempatan yang kita miliki untuk menunjukkan cinta kita kepada Allah; dan kalau kita tidak menderita sama sekali, maka cinta kita entah sungguh besar entah sungguh murni. Dengan rahmat Allah, kita dapat memperoleh suatu tahap di mana penderitaan akan menjadi kesukaan bagi kita karena cinta dapat mengerjakan hal-hal seperti itu di dalam jiwa-jiwa yang murni.

(304) Ya Yesusku, harapanku satu-satunya, syukur kepada-Mu karena buku yang telah Engkau buka di hadapan mata jiwaku. Buku itu adalah sengsara-Mu yang telah Kaujalani karena cinta-Mu kepadaku. Dari buku inilah aku telah mempelajari bagaimana mencintai Allah dan mencintai jiwa-jiwa. Dalam buku ini, ditemukan harta yang tak kunjung habis bagi kita. Ya Yesus, betapa sedikit jiwa yang memahami Engkau dalam kemartiran cinta kasih-Mu! Oh, betapa besarnya api cinta paling murni yang berkobar di dalam Hati-Mu yang mahakudus! Berbahagialah jiwa yang telah memahami cinta Hati Yesus!

(305) Keinginanku yang paling besar adalah supaya jiwa-jiwa mengenal Engkau sebagai kebahagiaan kekal mereka, bahwa mereka percaya kepada kebaikan-Mu dan memuliakan kerahiman-Mu yang tak terbatas.

(306) Aku memohon kepada Tuhan untuk memberiku rahmat supaya kodratku menjadi kebal dan tahan terhadap pengaruh-pengaruh yang kadang-kadang berusaha menjauhkan aku dari roh peraturan dan dari tata tertib yang lebih kecil. Pelanggaran-pelanggaran kecil ini ibarat ngengat kecil-kecil yang berusaha menghancurkan kehidupan rohani di dalam diri kita, dan mereka tentu saja akan menghancurkannya kalau jiwa menyadari pelanggaran-pelanggaran kecil ini, tetapi mengabaikannya sebagai hal-hal yang kecil. Aku dapat melihat tidak ada sesuatu yang kecil dalam kehidupan membiara. Kalau kadang-kadang aku menjadi sasaran kejengjelan dan cemooh, itu semua tidak menjadi masalah, asalkan rohku tetap berada dalam harmoni dengan roh peraturan, dengan kaul, dan dengan statuta hidup membiara.

Ya Yesusku, kesukaan hatiku, Engkau mengetahui kerinduan-kerinduanku. Aku ingin bersembunyi dari tatapan orang-orang supaya aku hidup, tetapi tampaknya tidak hidup. Aku ingin hidup murni seperti bunga liar; aku ingin cintaku selalu tertuju kepada-Mu, sama seperti bunga yang selalu mengarah kepada matahari. Aku ingin aroma dan kesegaran bunga hatiku selalu terpelihara hanya bagi-Mu. Aku ingin hidup di bawah tatapan ilahi-Mu karena Engkau saja sudah cukup bagiku. Apabila aku bersama-Mu, Yesus, aku tidak takut akan suatu pun karena tidak satu pun dapat merugikan aku.

(307) 1934. Pernah, dalam Masa Prapaskah, aku melihat suatu terang cemerlang dan suatu kegelapan pekat di atas biara dan kapel. Aku melihat pergulatan antara kedua kekuatan itu...

(308) 1934, Kamis Putih. Yesus berkata kepadaku, “Aku ingin agar engkau mempersembahkan dirimu bagi orang-orang berdosa, khususnya bagi jiwa-jiwa yang telah kehilangan harapan akan kerahiman Allah.”

Allah dan Jiwa-jiwa. Doa Persembahan.

(309) Di hadapan surga dan bumi, di hadapan segenap paduan suara para malaikat, di hadapan Perawan Maria yang Tersuci, di hadapan segala Kuasa surga, aku menyatakan kepada Allah Tritunggal bahwa hari ini, dalam kesatuan dengan Yesus Kristus, Penebus jiwa-jiwa, aku mempersembahkan diriku secara sukarela untuk pertobatan orang-orang berdosa, khususnya untuk jiwa-jiwa yang telah kehilangan harapan akan kerahiman Allah. Persembahan ini meliputi penerimaan, dengan kepatuhan total kepada kehendak Allah, semua penderitaan, ketakutan, dan kegentaran yang memenuhi hati orang-orang berdosa. Sebaliknya, aku memberikan kepada mereka semua penghiburan yang diterima jiwaku dari persekutuanku dengan Allah. Singkat kata, aku mempersembahkan segala sesuatu bagi mereka: misa kudus, komuni kudus, tobat, mati raga dan doa. Aku tidak takut akan pukulan, pukulan keadilan ilahi sebab aku disatukan dengan Yesus. Ya Allahku, dengan cara ini, aku ingin mengadakan penyilihan kepada-Mu atas jiwa-jiwa yang tidak percaya akan kebaikan-Mu. Melawan segala harapan, aku berharap akan samudra kerahiman-Mu. Ya Tuhanku dan Allahku, bagianku - harta pusakaku untuk selamanya, aku mendasarkan doa persembahan ini bukan atas kekuatanku sendiri, tetapi atas kekuatan yang mengalir dari pahala Yesus Kristus. Aku akan mengulangi setiap hari persembahan diri ini dengan mengucapkan doa berikut, yang Kauajarkan sendiri kepadaku, yakni:

“O Darah dan Air yang telah memancar dari Hati Yesus sebagai sumber kerahiman bagi kami. Engkau andalanku!”

Sr. Maria Faustina dari Sakramen Mahakudus. Kamis Putih, dalam  Misa Kudus, 29 Maret 1934.

(310) “Aku memberi engkau bagian dalam penebusan umat manusia. Engkaulah kesejukan di saat Aku menghadapi ajal.”

(311) Ketika aku menerima izin dari bapak pengakuanku untuk melaksanakan penyerahan diri ini, aku segera tahu bahwa penyerahan itu berkenan di hati Allah sebab serta merta aku mulai mengalami buahnya. Dalam sekejap jiwaku menjadi seperti batu - keras, penuh dengan siksaan dan kegelisahan. Segala macam hujat dan kutuk terus mengiang di telingaku. Ketidakpercayaan dan keputusasaan menyerbu hatiku. Inilah keadaan orang papa, yang telah kuterima atas diriku. Mula-mula, aku sangat ketakutan karena hal-hal yang mengerikan ini, tetapi dalam pengakuan pertama [tepat pada waktunya], hatiku diliputi damai.

(312) Pernah ketika aku pergi keluar biara untuk mengaku dosa, kebetulan aku melihat bapak pengakuanku yang sedang merayakan misa. Sesaat kemudian, aku melihat Kanak-kanak Yesus pada altar, yang penuh dengan sukacita dan wajah berseri mengulurkan tangan kepadanya. Tetapi, sesaat kemudian imam mengambil Anak yang mungil itu dengan tangannya, mematah-matahkan-Nya dan memakan-Nya hidup-hidup. Mula-mula aku merasa tidak senang dengan imam itu karena telah melakukan hal itu terhadap Yesus, tetapi aku langsung mendapat penerangan mengenai hal ini dan aku memahami bahwa imam ini sangat menyenangkan hati Allah.

(313) Pernah ketika aku mengunjungi seniman yang melukis gambar Kerahiman Ilahi, dan melihat bahwa gambar itu tidak seindah Yesus yang aku saksikan, aku erasa sangat sedih akan hal itu, tetapi aku menyembunyikan kesedihan itu dalam-dalam di lubuk hatiku. Setelah kami meninggalkan rumah sang seniman, Muder Superior singgah di kota untuk menyelesaikan sejumlah urusan sementara aku pulang ke rumah sendirian. Aku langsung pergi ke kapel dan menangis sepuasku. Aku berkata kepada Tuhan, “Siapa yang dapat melukis Engkau seindah Engkau sendiri?” Kemudian aku mendengar kata-kata ini, “Bukan dalam indahnya warna, bukan pula dalam bagusnya kuas terletak kebesaran gambar ini, tetapi dalam rahmat-Ku.”

(314) Pada suatu petang ketika aku pergi ke taman, Malaikat Pelindungku berkata kepadaku, “Berdoalah untuk orang-orang yang menghadapi ajal.” Maka aku langsung mulai berdoa rosario bersama anak-anak asrama yang sedang merawat taman untuk orang yang menghadapi ajal. Sesudah doa, anak-anak mulai bercanda dengan riang gembira di antara mereka. Kendati kegaduhan yang mereka ciptakan, aku mendengar suara ini di dalam jiwaku, “Berdoalah untukku!” Tetapi karena aku tidak dapat menangkap suara itu dengan baik, aku menjauh beberapa langkah dari anak-anak itu, sambil berpikir siapa kiranya yang minta aku doakan. Kemudian aku mendengar kata-kata, “Aku Suster ...” Suster ini ada di Warsawa padahal aku, waktu itu, berada di Vilnius. “Berdoalah untukku sampai aku katakan kepadamu untuk berhenti. Aku sedang menghadapi ajal.” Serta merta aku mulai berdoa dengan khusyuk baginya kepada Hati Yesus yang mulai menghadapi ajal. Suster itu belum memberiku istirahat, dan aku terus berdoa demikian mulai [pukul] tiga sampai pukul lima. Pada pukul lima aku mendengar suara, “Terima kasih!” dan aku tahu bahwa suster itu sudah meninggal. Dalam misa keesokan harinya, aku berdoa lagi dengan khusyuk untuk jiwanya. Pada petang hari, sebuah kartu pos tiba yang mengatakan bahwa suster ... telah meninggal tepat pada waktu itu. Aku mengerti bahwa persis pada saat itulah ia berkata kepadaku, “Berdoalah untukku.”

(315) Ya Bunda Allah, jiwamu tenggelam dalam samudra kepahitan. Pandanglah aku, anakmu, dan ajarlah aku menderita serta tetap menunjukkan cinta di saat menderita. Kuatkanlah jiwaku, jangan sampai dipatahkan oleh penderitaan. Bunda rahmat, ajarlah aku untuk hidup bersatu dengan Allah.

(316) Pernah, Bunda Allah datang mengunjungi aku. Ia tampak sedih. Matanya tertunduk ke bawah. Sangat jelas bahwa ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi di lain pihak, seolah-olah ia tidak mau berbicara denganku mengenai hal itu. Mengetahui hal itu, aku mulai minta kepada Bunda Allah untuk memandang aku dan berbicara kepadaku. Saat itu juga Maria memandang aku dengan senyum hangat dan berkata, “Engkau akan mengalami beberapa penderitaan karena suatu penyakit dan karena para dokter; engkau juga akan menderita banyak karena gambar itu, tetapi jangan takut akan apa pun.” Hari berikutnya aku jatuh sakit dan sangat menderita, persis seperti yang telah dikatakan oleh Bunda Allah. Tetapi jiwaku sudah siap untuk menanggung penderitaan-penderitaan. Seluruh hidupku tidak pernah lepas dari penderitaan.

(317) Ya Allahku, satu-satunya harapanku, aku telah menempatkan seluruh kepercayaanku kepada-Mu, dan aku tahu aku tidak akan dikecewakan.

(318) Aku sering merasakan kehadiran Allah sesudah komuni kudus secara istimewa dan sangat nyata. Aku tahu Allah berada di dalam hatiku. Dan kenyataan bahwa aku merasakan kehdairan-Nya di dalam hatiku tidak mengganggu pelaksanaan tugas-tugasku. Juga, kalaupun aku sedang menangani masalah-masalah penting yang menuntut perhatian besar, aku tetap dapat merasakan kehadiran Allah di dalam jiwaku, dan aku tetap bersatu erat dengan Dia. Bersama Dia aku pergi bekerja, bersama Dia aku pergi untuk berekreasi, bersama Dia aku menderita, bersama Dia aku bersukacita; aku hidup di dalam Dia dan Ia di dalam aku. Aku tidak pernah sendirian sebab Ia senantiasa menyertai aku. Stiap saat aku menyadari kehadiran-Nya. Kemesraan kami luar biasa, lewat kesatuan darah dan kehidupan.

(319) 9 Agustus 1934. Tuguran pada Kamis Putih. Aku melaksanakan tuguranku mulai pukul sebelas sampai tengah malam. Aku mempersembahkan tuguran ini untuk pertobatan orang-orang berdosa yang keras hati, khususnya untuk mereka yang telah kehilangan harapan akan kerahiman Allah. Aku merenungkan betapa beratnya Tuhan telah menderita dan betapa besar kasih yang Ia tunjukkan kepada kita; aku juga merenungkan kenyataan bahwa kita masih belum percaya bahwa Allah sedemikian mengasihi kita. Ya Yesus, siapa yang dapat memahami hal ini? Betapa beratnya penderitaan yang harus ditanggung Juru Selamat kita! Bagaimana Ia dapat meyakinkan kita akan cinta-Nya kalau bahkan kematian-Nya tidak dapat meyakinkan kita? Aku memanggil seluruh surga untuk bergabung denganku dalam doa penyilihan kepada Tuhan atas sikap tidak tahu terima kasih dari sejumlah jiwa.

(320) Yesus memberitahukan kepadaku betapa doa-doa penyilihan sangat berkenan di hati-Nya. Ia berkata kepadaku, “Doa yang dipanjat oleh jiwa yang rendah hati dan penuh kasih meredakan murka Bapa-Ku dan menurunkan hujan berkat.” Sesudah adorasi, di tengah jalan kembali ke kamarku, aku dikerumuni oleh sekelompok anjing hitam yang besar, yang melompat-lompat, menyalak, dan berusaha mencabik-cabik aku. Aku menyadari bahwa mereka bukan anjing, tetapi setan-setan. Satu dari mereka berbicara dengan kasar, “Karena malam ini engkau telah merenggut banyak jiwa dari kami, kami akan mencabik-cabikmu.” Aku menjawab, “Kalau memang itu kehendak Allah yang maharahim, cabik-cabiklah aku karena aku justru menginginkannya sebab aku adalah yang paling celaka dari semua pendosa, dan Allah selalu kudus, adil, dan tak terbatas kerahiman-Nya.” Mendengar kata-kata ini, semua setan itu menjawab serentak, “Mari kita lari sebab ia tidak sendirian; Yang Mahakuasa menyertainya!” Dan mereka lenyap seperti debu, seperti hiruk pikuk jalanan, sementara aku melanjutkan perjalanan ke kamarku tanpa terganggu, sambil menyelesaikan Te Deum-ku dan merenungkan kerahiman Allah yang tak terbatas dan tak terselami.

12 Agustus 1934

(321) Sakit mendadak - Penderitaan yang amat berat. Ini bukanlah kematian, tetapi suatu peralihan menuju kehidupan yang sejati; namun penderitaan ini begitu berat, dan rasanya seperti kematian. Meskipun memberi kita kehidupan kekal, kematian itu mengerikan. Sekonyong-konyong aku jatuh sakit, aku merasa sesak napas, kegelapan membayang di depan mataku, anggota-anggota tubuhku semakin kaku - dan aku merasakan kekurangan napas yang mengerikan. Meskipun sebentar, sesak napas itu rasanya sedemikian lama. ... Juga muncul suatu ketakutan yang aneh, di samping pengharapan. Aku ingin menerima sakramen-sakramen terakhir, tetapi luar biasa sulit untuk mengaku dosa meskipun aku ingin melakukannya. Orang tidak tahu apa yang ia katakan; tanpa menyelesaikan yang satu, ia mulai mengatakan yang lain.

Oh, semoga Allah menjaga agar tidak satu jiwa pun menangguhkan pengakuan dosa sampai saat terakhir! Aku memahami kekuatan besar dari kata-kata imam ketika kata-kata itu meluncur ke arah jiwa orang sakit. Ketika aku bertanya bapak rohaniku apakah aku siap untuk berdiri di hadapan Tuhan dan apakah aku dapat merasakan damai, aku menerima jawaban, “Suster dapat menikmati damai sepenuhnya, bukan hanya sekarang tetapi juga sesudah setiap pengakuan dosa mingguan.” Sungguh besar rahmat ilahi yang menyertai kata-kata imam ini. Jiwaku merasakan kekuatan dan keberanian untuk bertempur.

(322) O Kongregasiku, ibuku, betapa menyenangkan hidup sebagai anggotamu, tetapi lebih baik lagi mati sebagai anggotamu!

(323) Sesudah aku menerima sakramen-sakramen terakhir, ada suatu perkembangan yang mencolok. Aku masih tetap sendirian. Ini berlangsung selama setengah jam dan kemudian timbul serangan baru; tetapi ini tidak begitu kuat karena campur tangan dokter.

Aku mempersatukan penderitaan-penderitaanku dengan penderitaan Yesus dan mempersembahkannya untuk diriku sendiri dan untuk pertobatan jiwa-jiwa yang tidak percaya akan kebaikan Allah. Sekonyong-konyong, kamarku penuh dengan sosok serba hitam yang penuh dengan kemarahan dan kebencian terhadapku. Satu dari mereka berkata, “Terkutuklah engkau dan Ia yang ada dalam dirimu karena engkau mulai menyiksa kami yang bahkan sudah di neraka.” Begitu aku berkata, “Dan, Sang Sabda sudah menjadi daging dan tinggal di antara kita,” sosok-sosok itu lenyap seketika.

(324) Keesokan harinya, aku merasa sangat lemah, tetapi tidak merasakan penderitaan apa pun lagi. Sesudah komuni kudus, aku melihat Tuhan Yesus persis seperti yang aku lihat dalam salah satu adorasi. Tatapan mata Tuhan terus menerus menembus jiwaku, dan bahkan debu yang terkecil pun tidak lolos dari perhatian-Nya. Dan aku berkata kepada Yesus, “Yesus, aku pikir Engkau akan memanggilku.” Dan Yesus menjawab, “Kehendak-Ku belum sepenuhnya digenapi dalam dirimu; engkau masih akan tinggal di bumi, tetapi tidak lama. Aku sangat senang dengan kepercayaanmu, tetapi cintamu hendaknya lebih berkobar. Cinta yang murni memberikan kekuatan kepada jiwa pada saat ia menghadapi ajal. Ketika Aku menghadapi ajal di salib, Aku sama sekali tidak memikirkan diri-Ku sendiri, tetapi memikirkan para pendosa yang malang, dan Aku berdoa bagi mereka kepada Bapa-Ku. Aku menghendaki saat-saat terakhirmu menjadi sepenuhnya mirip dengan saat-saat terakhir-Ku di salib. Hanya ada satu cara menebus jiwa-jiwa, yaitu penderitaan yang disatukan dengan penderitaan-Ku di salib. Cinta yang murni memahami kata-kata ini; cinta daging tidak pernah akan memahaminya.”

(325) Tahun 1934. Pada hari Bunda Allah diangkat ke surga aku tidak menghadiri misa kudus. Dokter perempuan itu tidak mengizinkan aku; tetapi aku berdoa dengan khusyuk di kamarku. Tidak lama sesudah itu, aku melihat Bunda Allah, tak terperikan eloknya. Ia berkata kepadaku, “Putri-Ku, yang aku minta darimu adalah doa, doa, dan sekali lagi doa, bagi dunia dan khususnya bagi Tanah Airmu. Selama sembilan hari sambutlah komuni sebagai penyilihan dan persatukanlah dirimu erat-erat dengan kurban misa kudus. Selama sembilan hari ini, engkau akan berdiri di hadapan Allah sebagai suatu persembahan: selalu dan di mana-mana, di segala waktu dan tempat, siang atau malam, kapan saja engkau terjaga, berdoalah dalam roh. Dalam roh, orang selalu dapat tetap berdoa.”

(326) Pernah, Yesus berkata kepadaku, “Tatapan mata-Ku dari gambar ini sama dengan tatapan mata-Ku dari salib.”

(327) Pernah, bapak pengakuanku bertanya kepadaku di mana tulisan itu harus ditempatkan sebab tidak ada cukup ruang dalam gambar itu untuk mencantumkan segala sesuatu. Aku menjawab, “Aku akan berdoa dan memberi jawaban pekan depan.” Ketika aku meninggalkan kamar pengakuan dan sedang melintas di depan Sakramen Mahakudus, aku menerima suatu pengetahuan batin mengenai tulisan itu. Yesus mengingatkan aku akan apa yang telah Ia beri tahukan kepadaku pertama kali; yakni, bahwa tiga kata ini harus tampak dengan jelas: “Yesus, Engkau Andalanku” [Jezu, Ufam Tobie]. Aku sadar bahwa Yesus menghendaki seluruh kalimat ditulis dalam gambar, tetapi Ia tidak memberikan perintah langsung dan tegas seperti yang Ia lakukan untuk ketiga kata itu.

“Aku memberikan tanda kepada umat manusia sebuah wadah yang harus mereka bawa ketika mereka datang memohon rahmat ke sumber kerahiman. Wadah itu adalah gambar ini dengan tulisan - Yesus, Engkau Andalanku.”

(328) O Cinta yang paling murni, merajalah di dalam hatiku dengan segenap kuasa-Mu dan tolonglah aku melakukan kehendak-Mu yang kudus dengan sesetia mungkin!

(329) Menjelang akhir suatu retret tiga hari, aku melihat diriku berjalan menyusuri lorong yang tidak rata. Aku terus menerus tersandung, dan aku melihat di belakangku sosok seorang yang terus menopang aku. Aku tidak merasa nyaman dengan topangan ini dan minta orang itu untuk meninggalkan aku sendirian karena aku ingin berjalan sendiri. Tetapi, sosok yang tidak dapat aku kenali itu tidak mau meninggalkan aku sesaat pun. Aku menjadi tidak sabar dan berpaling serta menghempaskan orang itu dariku. Pada saat itu, aku melihat bahwa ia adalah Muder Superior, dan pada saat yang sama aku melihat bahwa ia bukan Muder Superior, tetapi Tuhan Yesus yang memandang tajam ke dalam hatiku dan memberiku pengertian betapa menyakitkan bagi-Nya ketika aku, bahkan dalam hal-hal yang paling ringan, tidak melakukan kehendak superior, “yang adalah kehendak-Ku,” [kata-Nya]. Aku minta ampun kepada Tuhan dan dengan segenap hatiku aku menyimpan hal ini dalam hatiku.

(330) Pernah, bapak pengakuan meminta aku agar berdoa untuk intensinya, dan aku memulai suatu novena kepada Bunda Allah. Novena ini meliputi doa Salam, Ratu Surga, yang didaras sembilan kali. Menjelang akhir novena itu aku melihat Bunda Allah dengan Bayi Yesus di pelukannya, dan aku juga melihat bapak pengakuanku berlutut dekat kakinya dan berbicara dengan dia. Aku tidak mendengar apa yang ia bicarakan dengan dia sebab aku sibuk berbicara dengan Bayi Yesus, yang turun dari pelukan ibu-Nya dan mendekatiku. Aku tidak dapat berhenti mengaguni ketampanan-Nya. Aku mendengar beberapa kata yang diucapkan Bunda Allah kepadanya [yakni, bapak pengakuanku] tetapi tidak semuanya. Kata-kata itu adalah, “Aku bukan hanya Ratu Surga, tetapi juga Bunda Berbelas Kasih dan Bundamu.” Dan pada saat itu ia mengulurkan tangan kanannya sambil membentangkan mantolnya, dan ia menyelubungi imam itu dengannya. Pada saat itu, penglihatan itu pun lenyap.

(331) Oh, sungguh karunia yang amat besar memiliki seorang pembimbing rohani! Orang dapat maju dalam keutamaan dengan lebih pesat, ia dapat melihat kehendak Allah dengan lebih jelas, memenuhinya dengan lebih setia, dan dapat menempuh jalan yang aman dan bebas dari bahaya. Pembimbing rohani tahu bagaimana menghindari batu-batu yang dapat menghancurkan. Memang, agak lambat Tuhan memberi rahmat ini kepadaku, tetapi aku sangat bersukacita karenanya sebab aku menyadari bagaimana Allah mencondongkan kehendak-Nya kepada keinginan-keinginan pembimbing rohaniku. Aku hanya akan menyebut satu kejadian di antara ribuan kejadian yang telah terjadi atas diriku. Seperti biasanya, pada suatu petang aku mohon kepada Tuhan Yesus untuk memberiku butir-butir renungan untuk keesokan harinya. Aku menerima jawaban, “Renungkanlah Nabi Yunus dan perutusannya!” Aku bersyukur kepada Tuhan, tetapi aku mulai berpikir dalam hatiku betapa berbedanya topik itu dari topik-topik yang lain. Tetapi dengan segenap jiwaku, aku berusaha merenungkannya, dan aku mengenali diriku sendiri dalam pribadi sang nabi, dalam arti bahwa sering kali aku juga berusaha mencari dalih terhadap Tuhan, dengan mengatakan bahwa orang lain akan melaksanakan kehendak kudus-Nya dengan lebih baik [daripada aku], dan aku tidak memahami bahwa Allah dapat melakukan segala sesuatu dan bahwa kemahakuasaan-Nya akan lebih nyata kalau alatnya lebih sederhana. Allah menjelaskan hal ini kepadaku dengan cara sebagai berikut. Petang itu, ada pengakuan dosa komunitas. Kepada pembimbing rohani jiwaku, aku membeberkan ketakutan yang mencekam aku karena misi yang aku terima, dan untuk misi itu Allah menggunakan aku, alat yang sama sekali kurang memadai. Ketika mendengar hal itu, bapak rohaniku menjawab bahwa mau atau tidak kita harus melaksanakan kehendak Allah, dan imam itu menunjukkan kepadaku Nabi Yunus sebagai contoh. Sesudah pengakuan, aku heran bagaimana bapak pengakuan itu tahu bahwa Allah telah menyuruh aku bermeditasi mengenai Yunus; padahal aku sendiri tidak memberitahukan kepadanya. Kemudian aku mendengar suara-suara ini, “Apabila imam bertindak sebagai wakil-Ku, ia tidak bertindak dari dirinya sendiri, tetapi Aku yang bertindak lewat dia. Harapannya adalah harapan-Ku.” Kini, aku dapat melihat bagaimana Yesus membela wakil-wakil-Nya. Ia sendiri masuk ke dalam tindakan mereka.

(332) Kamis. Ketika memulai ibadat Jam Kudus, aku membenamkan diriku dalam sakratulmaut Yesus di Taman Zaitun. Maka, aku mendengar suatu suara dalam jiwaku, “Renungkanlah misteri Inkarnasi.” Dan tiba-tiba, Bayi Yesus tampak di hadapanku, bersinar-sinar memancarkan keindahan. Ia memberitahukan kepadaku betapa Allah sangat berkenan akan kesederhanaan dalam suatu jiwa. “Meskipun keagungan-Ku melampaui segala pengertian, aku menyatukan diri-Ku hanya dengan mereka yang kecil. Aku menuntut darimu semangat seorang anak.”
(333) Kini, aku melihat dengan jelas bagaimana Allah bertindak lewat bapak pengakuan, dan betapa setianya Allah memegang janji-janji-Nya. Dia pekan yang lalu, bapak pengakuanku menyuruh aku merenungkan sifat rohani seorang anak. Mula-mula sedikit sulit, tetapi bapak pengakuanku, tanpa memperdulikan kesulitan-kesulitanku, menyuruh aku terus merenungkan sifat rohani seorang anak. “Secara praktis, sifat seorang anak,” [katanya], “tampak sebagai berikut: seorang anak tidak mencemaskan masa lampau ataupun masa depan. Ia asyik menggunakan waktu yang sekarang ada. Saya ingin menekankan agar ciri rohani seperti seorang anak ini ada dalam diri Suster; saya sangat menekankannya.”

(334) Aku dapat melihat betapa Allah tunduk kepada keinginan-keinginan bapak pengakuanku; pada saat itu Allah tidak memperlihatkan diri-Nya kepadaku sebagai seorang Guru dengan seluruh kekuatan-Nya dan kedewasaan insani-Nya, tetapi sebagai seorang Anak kecil. Allah yang melampaui segala pengertian membungkuk kepadaku dalam rupa seorang Anak kecil.

Tetapi, mata jiwaku tidak berhenti pada permukaan. Meskipun Engkau mengambil rupa seorang Anak, aku melihat dalam diri-Mu Tuhan semua tuan; Engkau kekal dan tak terbatas, Engkau disembah oleh roh-roh yang murni, siang dan malam, dan bagi-Mu hati para Serafim berkobar-kobar dengan api cinta yang paling murni. Ya Kristus, ya Yesus, aku ingin mengungguli mereka dalam cintaku akan Dikau! Aku minta maaf kepada kalian, hai roh-roh yang murni, atas keberanianku membandingkan diriku dengan kalian. Aku hanyalah tumpukan kemalangan, jurang kepapaan; sedangkan Engkau, ya Allah, adalah kedalaman kerahiman yang tak terselami, yang menekan aku ibarat panas matahari melahap setetes embun! Satu tatapan mata penuh kasih dari-Mu akan meratakan jurang. Aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa atas keagungan Allah. Menyaksikan keagungan Allah lebih dari cukup untuk membuatku bahagia sepanjang segala abad!

(335) Pernah ketika aku melihat Yesus dalam wujud seorang anak kecil, aku bertanya, “Yesus, mengapa saat ini ketika bersatu denganku, Engkau tampil dalam ujud seorang anak? Kendati semua ini, aku tetap melihat dalam diri-Mu Allah yang tak terbatas, Tuhanku dan Penciptaku,” Yesus menjawab bahwa Ia bergaul denganku sebagai seorang anak kecil sampai saatnya aku sudah memahami kederhanaan dan kerendahan hati.

(336) 1934. Dalam misa kudus ketika Tuhan Yesus ditampilkan dalam Sakramen Mahakudus, sebelum komuni aku melihat dua sinar memancar dari Hosti kudus, persis seperti yang terlukis dalam gambar, satu merah dan yang lain pucat. Dan kedua sinar itu memancar atas setiap suster dan setiap siswi, tetapi dengan cara yang tidak sama. Pada beberapa dari antara mereka kedua sinar itu hampir tak kelihatan. Itulah hari terakhir dari retret anak-anak.

(337) 22 November 1934. Sekali peristiwa, pembimbing rohaniku menyuruh aku introspeksi dengan saksama dan meneliti apakah aku memiliki suatu kelekatan kepada suatu benda atau ciptaan tertentu, atau bahkan kepada diriku sendiri; atau apakah aku terlibat dalam obrolan yang sia-sia. “Sebab semua hal ini,” [katanya], “menghambat Tuhan Yesus dengan bebas menata jiwamu. Allah itu cemburu akan hati kita dan Ia menghendaki agar kita hanya mengasihi Dia.”

(338) Ketika aku mulai mawas diri dengan saksama, aku sama sekali tidak menemukan satu keterikatan pada suatu pun. Tetapi, seperti dalam semua hal yang menyangkut diriku, demikian juga dalam hal ini, aku takut dan tidak percaya akan diriku sendiri. Letih karena pemeriksaan batin yang rumit ini, aku pergi ke hadapan Sakramen Mahakudus dan memohon kepada Yesus dengan segenap tenaga jiwaku, “Yesus, Mempelaiku, Harta hatiku, Engkau tahu bahwa aku hanya mengenal Engkau dan bahwa aku tidak memiliki kekasih lain selain Engkau; tetapi Yesus, kalau aku tergoda untuk terikat pada sesuatu yang bukan Engkau, aku mohon dan mendesak kepada-Mu, Yesus, dengan kuasa kerahiman-Mu, biarlah seketika itu juga kematian turun atas diriku sebab lebih baik aku mati seribu kali daripada tidak setia kepada-Mu satu kali bahkan dalam perkara yang paling kecil.”

(339) Pada saat itu, Yesus tiba-tiba berdiri di hadapanku, tanpa kuketahui dari mana. Ia bercahaya dengan keindahan yang sulit dipercaya, mengenakan jubah putih, dengan kedua tangan terangkat, dan Ia mengucapkan kata-kata ini kepadaku, “Putri-Ku, hatimu adalah tempat istirahat-Ku; hatimu adalah kesukaan-Ku. Di dalamnya, Aku mendapati segala sesuatu yang ditolak oleh begitu banyak jiwa. Katakan ini kepada wakil-Ku.” Dan sesaat kemudian, aku tidak melihat apa-apa, tetapi seluruh samudra penghiburan mengalir ke dalam jiwaku.

(340) Kini aku tahu bahwa tidak suatu pun dapat menhentikan kasihku bagi-Mu, ya Yesus, baik penderitaan, sengsara, api, pedang, maupun kematian sendiri. Aku merasa lebih kuat daripada semua hal itu. Tidak ada suatu pun yang dapat dibandingkan dengan kasih. Aku menyaksikan bahwa hal-hal paling kecil  yang dilakukan oleh jiwa yang mengasihi Allah dengan tulus hati memiliki nilai yang luar biasa dalam pandangan mata-Nya yang kudus.

(341) 5 November 1934. Pada suatu pagi, sesudah membuka gerbang untuk membiarkan orang masuk orang-orang kami yang mengantar makanan, aku masuk ke kapel kecil untuk mengunjungi Yesus sejenak dan untuk membarui niat-niatku hari ini. “Ya Yesus, hari ini aku mempersembahkan kepada-Mu semua penderitaan, mati raga dan doa-doaku untuk Bapa Suci supaya ia dapat mengesahkan Pesta Kerahiman. Tetapi, ya Yesus, aku mempunyai satu kata lagi untuk kusampaikan kepada-Mu: aku sangat heran bahwa Engkau meminta aku berbicara tentang Pesta Kerahiman ini karena  orang berkata bahwa pesta seperti itu sudah ada; karena itu, mengapa aku harus berbicara mengenai hal ini?” Dan Yesus berkata kepadaku, “Tetapi, siapa yang tahu itu? Tidak seorang pun! Bahkan mereka yang seharusnya memaklumkan kerahiman-Ku dan mengajar umat mengenai kerahiman-Ku sering kali tidak mengetahui hal ini. Itulah sebab Aku menghendaki gambar itu diberkati secara meriah pada Hari Minggu pertama sesudah Paskah, dan Aku menghendaki gambar itu dihormati secara publik supaya setiap jiwa dapat mengenalnya.”

“Lakukanlah novena untuk ujud-ujud Bapa Suci. Novena ini hendaknya mencakup tiga puluh tiga doa; yakni pengulangan sebanyak itu doa singkat kepada Kerahiman Ilahi - yang telah Kuajarkan kepadamu.”

(342) Penderitaan adalah harta terbesar di bumi ini; penderitaan mampu memurnikan jiwa. Dengan penderitaan, kita mengetahui siapa sahabat sejati kita. Cinta sejati diukur dengan menggunakan penderitaan.

(343) Ya Yesus, aku bersyukur kepada-Mu atas salib-salib harian yang kecil, atas rintangan terhadap usaha-usahaku, atas kerasnya kehidupan bersama, atas salah tafsir terhadap maksud-maksudku, atas penghinaan dari pihak orang-orang lain, atas perlakuan kasar terhadap kami, atas kecurigaan-kecurigaan yang tidak beralasan, atas buruknya kesehatan dan hilangnya kekuatan, atas penyangkalan diri, atas mati terhadap diri sendiri, atas kurangnya pemahaman dalam segala sesuatu, atas kacau-balaunya semua rencanaku.

Syukur kepada-Mu, ya Yesus, atas penderitaan batin, atas kegersangan rohani, atas kegentaran, atas ketakutan dan kegelisahan, atas kegelapan dan malam batin yang pekat, atas pencobaan dan aneka siksaan, atas siksaan yang terlalu sulit dilukiskan, khususnya atas semua hal yang tidak dipedulikan orang, atas saat kematian dengan pergulatannya yang menakutkan dan atas semua kepahitannya.

Aku bersyukur kepada-Mu, ya Yesus, karena Engkau sudah lebih dulu minum piala kepahitan itu sebelum Engkau memberikannya kepadaku dalam ukuran yang jauh lebih ringan. Aku menempelkan bibirku pada piala kehendak-Mu yang kudus. Biarlah semua terjadi menurut perkenan-Mu; biarlah apa yang ditetapkan oleh kebijaksanaan-Mu sebelum segala abad terlaksana padaku. Aku ingin meminum piala itu sampai tetes terakhir, dan tidak ingin tahu alasannya. Dalam kepahitanlah - sukacitaku, dalam keputusasaanlah - kepercayaanku. Dalam Dikau, ya Tuhan, segalanya baik, segalanya adalah anugerah hati kebapaan-Mu. Aku tidak mengutamakan penghiburan di atas kepahitan atau kepahitan di atas penghiburan, tetapi atas segala sesuatu aku bersyukur kepada-Mu, ya Yesus! Adalah kesukaanku untuk menatap Engkau, ya Allah yang tak terselami. Rohku tinggal di dalam keberadaan yang misterius, dan di sana aku merasa betah. Aku tahu dengan baik tempat kediaman Mempelaiku. Aku merasa tidak ada satu tetes darah pun di dalam diriku yang tidak berkobar oleh kasihku pada-Mu.

O Keindahan Yang Tak Tercipta, siapa saja mengenal Engkau sekali saja, ia tidak dapat mengasihi sesuatu yang lain. Aku dapat merasakan lubuk jiwaku yang tanpa dasar, dan tidak ada suatu pun yang dapat memenuhinya kecuali Allah sendiri. Aku merasa bahwa aku tenggelam dalam Dia seperti sebutir pasir dalam samudra yang tak terduga dalamnya.

(344) 20 Desember 1934. Pada suatu petang ketika aku memasuki kamarku, aku melihat Tuhan Yesus tampak dalam suatu monstrans di langit terbuka. Pada kaki Yesus, aku melihat bapak pengakuanku, dan di belakangnya sejumlah besar pejabat gerejawi tingkat tertinggi; mereka mengenakan jubah yang belum pernah aku lihat kecuali dalam penglihatan ini; di belakang mereka, tampak himpunan biarawan/wati dari aneka Kongregasi; dan lebih ke belakang lagi aku melihat himpunan orang yang luar biasa banyaknya, yang membentang jauh melampaui penglihatanku. Aku melihat dua sinar memancar dari Hosti, seperti dalam gambar itu, berpadu sangat dekat tetapi tidak tercampur; dan kedua sinar itu menembus tangan bapak pengakuanku, dan kemudian lewat tangan para klerus dan dari tangan mereka sinar itu memancar kepada umat, dan kemudian kembali ke Hosti itu ... dan pada saat itu aku melihat diriku sendiri sekali lagi di dalam kamarku yang baru saja aku masuki.

(345) 22 Desember 1934. Dalam pekan ini, aku mempunyai kesempatan untuk pergi ke pangukan dosa. Ketika aku tiba, kebetulan bapak pengakuanku sedang merayakan misa kudus. Dalam bagian ketiga misa itu, aku melihat Bayu Yesus, sedikit lebih kecil daripada biasanya dan dengan perbedaan ini, yakni Ia mengenakan jubah ungu. Biasanya Ia mengenakan jubah putih.

(346) 24 Desember 1934. Malam natal. Dalam misa pagi, aku merasa sangat dekat dengan Allah. Meskipun aku hampir tidak menyadarinya, rohku terbenam dalam Allah. Tiba-tiba, aku mendengar suara ini, “Engkau adalah tempat kediaman-Ku yang menyenangkan; Roh-Ku beristirahat dalam diri-Mu.” Sesudah mendengar suara itu, aku merasa Tuhan menatap ke dalam lubuk hatiku; sambil melihat kepapaanku, aku merendahkan diriku dalam roh dan mengagumi kerahiman Allah yang luar biasa, yakni bahwa Tuhan yang mahatinggi berkenan menghampiri aku yang sedemikian papa.

Pada waktu komuni kudus, sukacita memenuhi jiwaku. Aku merasa bahwa aku dipersatukan secara erat dengan ke-Allah-an. Kemahakuasaan-Nya meliputi seluruh keberadaanku. Sepanjang hari ini, aku merasakan kedekatan dengan Allah secara istimewa; pada hari ini, tugas-tugasku sepanjang hari ini sedemikian banyak sehingga aku tidak dapat pergi ke kapel barang sejenak pun; meskipun demikian, tidak sesaatpun aku tidak bersatu dengan Allah. Aku merasakan Dia ada di dalam diriku lebih jelas daripada kapan pun sebelumnya. Sambil tanpa henti memberi salam kepada Bunda Allah dan masuk ke dalam rohnya, aku meohon kepadanya untuk mengajar kepadaku cinta sejati kepada Allah. Dan kemudian aku mendengar suara ini, “Malam ini, dalam misa kudus, Aku akan membagikan kepadamu rahasia kebahagiaan-Ku.”

Kami makan malam sebelum pukul enam. Kendati semua sukacita dan kegaduahn lahiriah yang menyertai acara pembagian oplatek dan saling bertukar harapan, tidak sedetik pun aku kehilangan kesadaran akan kehadiran Allah. Sesudah makan malam, kami bergegas menyelesaikan pekerjaan, dan pada pukul sembilan aku dapat pergi ke kapel untuk adorasi. Aku diizinkan untuk tetap terjaga dan menantikan misa malam. Aku sangat senang memiliki waktu luang dari pukul sembilan sampai tengah malam. Mulai pukul sembilan sampai pukul sepuluh, aku mempersembahkan adorasiku untuk orang tua dan seluruh keluargaku. Dari pukul sepuluh sampai pukul sebelas, aku mempersembahkannya untuk ujud pembimbing rohaniku, pertama-tama bersyukur kepada Allah karena sudah memberi aku pertolongan yang besar dan nyata di bumi ini, sebagaimana telah Ia janjikan kepadaku; di samping itu, aku mohon kepada Allah untuk memberinya terang yang ia perlukan sehingga ia dapat mengenal jiwaku dan membimbing aku sesuai dengan perkenan Allah yang baik. Dan, dari pukul sebelas sampai pukul dua belas, aku berdoa untuk Gereja Kudus dan para klerus, untuk para pendosa, untuk karya misi dan untuk rumah-rumah Kongregasi kami. Aku memohon indulgensi untuk jiwa-jiwa di Purgatorium.

(347) 25 Desember 1934. Pukul 00.00

Misa Tengah Malam. Begitu misa kudus dimulai, serta merta aku merasakan permenungan batin yang sangat mendalam; sukacita memenuhi jiwaku. Pada waktu persiapan persembahan, aku melihat Yesus di altar, tak tertandingi indahnya. Sepanjang waktu itu Sang Bayi terus memandangi setiap orang, sambil merentangkan tangan-tangan-Nya yang mungil. Pada waktu Hosti diangkat, Kanak-kanak Yesus tidak memandang ke ruang kapel tetapi menengadah ke surga. Sesudah pengangkatan, Ia memandang kami lagi, tetapi hanya untuk waktu yang singkat sebab Ia dipatahkan dan dimakan oleh imam seperti biasanya. Tetapi, ikat pinggang-Nya kini berwarna putih. Hari berikutnya aku melihat hal yang sama, demikian juga pada hari ketiga. Sangat sulit bagiku untuk mengungkapkan sukacita jiwaku. Penglihatan itu terulang pada ketiga misa dengan cara yang sama seperti dalam misa yang pertama.

(348) Tahun 1934. Kamis pertama sesudah Natal. Aku sama sekali lupa bahwa itu hari Kamis dan karena itu aku tidak melakukan adorasiku. Pada pukul sembilan aku langsung pergi ke kamar tidur bersama suster-suster lain. Tetapi cukup aneh, aku tidak dapat tidur. Aku merasa bahwa aku belum melakukan sesuatu yang mestinya aku lakukan. Dalam hati, aku memeriksa kembali semua tugasku hari ini, dan aku tidak ingat akan suatu pun. Ini berlangsung sampai pukul sepuluh. Pada pukul sepuluh, aku melihat Yesus dengan wajah yang sedih. Kemudian, Yesus mengucapkan kata-kata ini kepadaku, “Aku sudah menunggu untuk berbagi penderitaan-Ku denganmu karena tidak seorang pun dapat memahami penderitaan-Ku lebih baik daripada mempelai-Ku.” Aku minta maaf kepada Yesus karena kebekuan hatiku. Aku malu dan tidak berani memandang Tuhan Yesus, tetapi dengan hati yang remuk redam, aku mohon kepada-Nya untuk memberikan kepadaku satu duri dari mahkota-Nya. Ia menjawab bahwa Ia akan memenuhi permintaan ini, tetapi baru besok pagi, dan seketika itu juga penglihatan itu lenyap.

(349) Pada pagi hari, dalam meditasi, aku merasa satu duri yang menyakitkan di sisi kiri kepalaku. Penderitaan ini berlangsung sepanjang hari. Aku terus merenungkan bagaimana Yesus dapat menanggung rasa sakit akibat begitu banyak duri yang ada pada mahkota-Nya. Aku menggabungkan penderitaanku dengan penderitaan Yesus dan mempersembahkannya untuk orang-orang berdosa. Pada pukul empat ketika aku pergi untuk adorasi, aku melihat salah seorang siswi kami sangat menyakiti hati Allah dengan dosa-dosa pikiran kotor. Aku melihat juga orang yang menyebabkan ia berdosa. Jiwaku tertusuk oleh ketakutan, dan aku mohon kepada Allah, demi sengsara Yesus, untuk merenggut dia dari kemalangan yang mengerikan itu. Yesus menjawab kepadaku bahwa Ia akan memberikan karunia itu kepadanya, bukan karena permintaannya, tetapi karena permintaanku. Kini aku tahu betapa banyak kami harus berdoa untuk orang-orang berdosa, dan khususnya untuk siswi-siswi kami.

(350) Hidup kami sungguh apostolik; aku tidak dapat membayangkan seorang biarawati hidup dalam salah satu rumah kami, yakni dalam Kongregasi kami, dan tidak memiliki semangat apostolik. Semangat untuk menyelamatkan jiwa-jiwa harus sungguh berkobar-kobar dalam hati kami.

(351) Ya Allahku, betapa menyenangkan menderita demi Engkau, menderita dalam relung hati yang paling tersembunyi, dalam ketersembunyian yang paling dalam, dibakar seperti kurban yang tidak dipedulikan oleh siapa pun, murni laksana kristal, tanpa penghiburan atasu belas kasihan. Hatiku bernyala-nyala karena cinta yang membara. Aku tidak membuang-buang waktu dengan bermimpi. Aku memanfaatkan setiap kesempatan begitu ia datang, karena ia ada dalam kekuasaanku. Masa lampau tidak menjadi milikku; masa depan pun bukan milikku; maka, dengan segenap jiwaku, aku berusaha menggunakan saat sekarang.

(352) 4 Januari 1935. Kapitel pertama dipimpin Muder Borgia. Dalam kapitel ini, Muder menekankan kehidupan iman dan kesetiaan dalam hal-hal yang kecil. Setelah kapitel berlangsung setengah jalan, aku mendengar kata-kata ini, “Aku menghendaki agar pada saat sekarang ini kalian semua memiliki iman yang lebih besar. Betapa besarnya sukacita-Ku atas kesetiaan mempelai-Ku dalam hal-hal yang paling kecil.” Saat itu aku memandang salib dan melihat bahwa kepala Yesus berpaling ke arah ruang makan, dan bibir-Nya bergerak.

(353) Ketika aku memberitahukan hal ini kepada Muder Superior, ia menjawab, “Engkau lihat, Suster, bagaimana Yesus menuntut agar hidup kita menjadi suatu kehidupan iman.” Ketika Muder meninggalkan ruang kapitel untuk pergi ke kapel, dan aku masih tinggal untuk membereskan ruangan, aku mendengar kata-kata ini, “Katakan kepada semua suster bahwa Aku menuntut agar mereka hidup dalam semangat iman terhadap para superior pada saat ini.” Aku minta kepada bapak pengakuanku untuk membebaskanku dari tugas ini.

(354) Ketika aku sedang berbicara dengan seseorang yang harus melukis gambar itu  tetapi karena beberapa alasan, belum melukisnya, aku mendengar suara ini dalam jiwaku, “Aku menghendaki dia supaya lebih taat!” Aku menyadari bahwa usaha-usaha kami, tidak peduli seberapa besarnya, tidak akan berkenan di hati Allah kalau semua itu tidak mengungkapkan semangat ketaatan; aku sedang berbicara tentang jiwa seorang biarawati. Ya Allah, betapa mudahnya mengetahui kehendak-Mu di dalam biara! Kami para biarawati mengetahui kehendak Allah yang diungkapkan secara jelas di hadapan mata kami dari pagi sampai malam, dan di saat-saat yang tidak serba pasti kami memiliki superior; melalui mereka, Allah berbicara.

(355) 1934 - 1935. Malam menjelang Tahun Baru. Aku diberi izin untuk tidak pergi tidur, tetapi berdoa di kapel. Salah seorang dari para suster minta kepadaku untuk mempersembahkan satu jam adorasi baginya. Aku berkata ya, dan berdoa untuk dia selama satu jam. Pada jam itu, Allah memberitahukan kepadaku betapa jiwa ini sangat berkenan di hati-Nya.

Aku mempersembahkan jam kedua dari adorasiku untuk bertobatnya orang-orang berdoa, dan aku berusaha secara istimewa untuk mempersembahkan doa penyilihan kepada Allah untuk hujat yang dilakukan orang terhadap-Nya pada masa sekarang ini. Betapa orang sangat menyakiti hati Allah!

Aku mempersembahkan jam yang ketiga untuk pembimbing rohaniku. Aku berdoa dengan khusyuk agar Allah memberikan penerangan kepadanya dalam menangani suatu masalah khusus.

Akhirnya jam menunjukkan pukul dua belas, jam terakhir tahun ini. Aku menyelesaikannya dalam nama Tritunggal yang kudus, dan aku juga mulai jam pertama Tahun Baru dalam nama Tritunggal yang kudus. Aku memohon agar masing-masing Pribadi Tritunggal memberkati aku dan dengan kepercayaan yang mantap, aku menatap ke Tahun Baru yang tentu saja tidak akan bebas dari penderitaan.

(356) O Hosti Kudus, di dalam-Mu terkandung wasiat kerahiman Allah bagi kami, dan teristimewa bagi orang-orang berdosa yang malang.

O Hosti Kudus, di dalam-Mu terkandung Tubuh dan Darah Tuhan Yesus sebagai bukti dari kerahiman-Nya yang tak terbatas bagi kami, dan teristimewa bagi orang-orang berdosa yang malang.

O Hosti Kudus, di dalam-Mu terkandung kehidupan kekal dan kerahiman yang tak terbatas, yang diberikan secara melimpah kepada kami, dan teristimewa kepada orang-orang berdosa yang malang.

O Hosti Kudus, di dalam-Mu terkandung kerahiman Bapa, Pura dan Roh Kudus kepada kami, dan teristimewa kepada orang-orang berdosa yang malang.

O Hosti Kudus, di dalam-Mu terkandung nilai kerahiman yang tak terbatas yang akan melunaskan semua utang kami, dan teristimewa utang orang-orang berdosa yang malang.

O Hosti Kudus, di dalam-Mu terkandung sumber air hidup yang memancar dari kerahiman yang tak terbatas kepada kami, dan teristimewa kepada orang-orang berdosa yang malang.

O Hosti Kudus, di dalam-Mu terkandung api kasih yang paling murni yang memancar dari rahim Bapa Yang Kekal, seperti dari lubuk kerahiman yang tak terduga dalamnya, kepada kami, dan teristimewa kepada orang-orang berdosa yang malang.

O Hosti Kudus, di dalam-Mu terkandung obat untuk segala kelemahan kami, yang mengalir dari kerahiman yang tak terbatas, seperti dari suatu mata air yang jernih, kepada kami dan teristimewa kepada orang-orang berdosa yang malang.

O Hosti Kudus, di dalam-Mu terkandung kesatuan antara Allah dan kami lewat kerahiman-Nya yang tak terbatas bagi kami, dan teristimewa bagi orang-orang berdosa yang malang.

O Hosti Kudus, di dalam-Mu terkandung semua perasaan Hati Yesus yang amat manis terhadap kami, dan teristimewa terhadap orang-orang berdosa yang malang.

O Hosti Kudus, satu-satunya harapan kami dalam segala penderitaan dan kesengsaraan hidup.

O Hosti Kudus, satu-satunya harapan kami di tengah kegelapan dan badai di dalam dan di luar diri kami.

O Hosti Kudus, satu-satunya harapan kami di sepanjang hayat dan di saat kami menghadapi ajal.

O Hosti Kudus, satu-satunya harapan kami di tengah kegagalan dan terpaan keputusasaan.

O Hosti Kudus, satu-satunya harapan kami di tengah kebohongan dan pengkhianatan.

O Hosti Kudus, satu-satunya harapan kami di tengah kegelapan dan kekafiran yang melanda bumi.

O Hosti Kudus, satu-satunya harapan kami di tengah kerinduan dan rasa sakit ketika tak seorang pun akan memahami kami.

O Hosti Kudus, satu-satunya harapan kami dalam kerja keras dan monoton kehidupan sehari-hari yang rutin.

O Hosti Kudus, satu-satunya harapan kami di tengah puing-puing pengharapan dan usaha-usaha kami.

O Hosti Kudus, satu-satunya harapan kami di tengan serangan musuh dan gempuran neraka.

O Hosti Kudus, aku mengandalkan Engkau apabila beban melampaui kekuatanku dan aku merasa usaha-usahaku sia-sia.

O Hosti Kudus, aku mengandalkan Engkau apabila badai menggoncang hatiku dan rohku yang ketakutan cenderung menjadi putus asa.

O Hosti Kudus, aku mengandalkan Engkau apabila  hatiku gemetar dan keringat ajal membasahi keningku.

O Hosti Kudus, aku mengandalkan Engkau apabila segala sesuatu bersekongkol melawan aku dan keputusasaan yang gawat menyusup ke dalam jiwaku.

O Hosti Kudus, aku mengandalkan Engkau apabila mataku mulai padam terhadap semua barang fana dan untuk pertama kalinya rohku mulai akan menatap dunia-dunia yang tidak dikenal.

O Hosti Kudus, aku mengandalkan Engkau apabila tugas-tugasku melampaui kekuatanku dan penderitaan menjadi jatah harianku.

O Hosti Kudus, aku mengandalkan Engkau apabila pengamalan keutamaan tampak sulit bagiku dan kemanusiaanku semakin memberontak.

O Hosti Kudus, aku mengandalkan Engkau apabila pukulan-pukulan para musuh ditujukan terhadapku.

O Hosti Kudus, aku mengandalkan Engkau apabila kerja keras dan usaha-usahaku akan disalahtafsirkan oleh sesama.

O Hosti Kudus, aku mengandalkan Engkau apabila keputusan-keputusan penghakiman-Mu akan menimpa aku; pada saat itulah aku berserah kepada samudra kerahiman-Mu.

(357) Tritunggal yang mahakudus, aku mengandalkan kerahiman-Mu yang tak terbatas. Allah adalah Bapaku; oleh karena itu aku, anak-Nya, memiliki hak untuk minta apa saja kepada Hati ilahinya; dan semakin pekat kegelapanku, akan semakin penuhlah harapanku.

(358) Aku tidak memahami bagaimana mungkin orang tidak mengandalkan Dia yang dapat mengerjakan segala sesuatu. Bersama Dia, segala sesuatu mungkin; tanpa Dia, segala sesuatu mustahil. Ia Tuhan, Ia tidak akan membiarkan orang yang menaruh seluruh harapan pada-Nya dikecewakan.

(359) 10 Januari 1935. Kamis. Pada petang hari, dalam Kebaktian kepada Sakramen Mahakudus, pikiran-pikiran ini mulai menggangguku: Tidak mungkinkah semua yang aku katakan mengenai kerahiman agung Allah itu hanyalah suatu kebohongan atau suatu khayalan....? Ketika aku ingin merenungkan hal ini barang sejenak, tiba-tiba aku mendengar suara batin yang keras dan jelas berkata, “Segala sesuatu yang engkau katakan mengenai kebaikan-Ku adalah benar; bahasa tidak memiliki ungkapan yang memadai untuk memuji kebaikan-Ku.” Kata-kata ini begitu penuh dengan kekuatan dan begitu jelas sehingga aku rela menyerahkan hidupku untuk menyatakan bahwa kata-kata itu berasal dari Allah. Aku dapat menyatakan kata-kata itu dengan ketenangan hati yang mendalam; ketenangan hati itu menyertai aku ketika ketika aku menyampaikan kata-kata itu dan kemudian masih tetap menyertaiku. Damai ini memberiku kekuatan dan kemampuan yang sedemikian besar sehingga segala kesulitan, sengsara, penderitaan, dan kematian sendiri seolah-olah bukan apa-apa. Terang ini memberikan kepadaku sekilas kebenaran bahwa semua usahaku untuk membuat jiwa-jiwa mengenal kerahiman Tuhan sangat berkenan di Hati Allah. Dan dari sini, muncul sukacita yang sedemikian besar dalam jiwaku sehingga aku tidak tahu apakah di surga sana ada sukacita yang lebih besar. Oh, kalau saja jiwa-jiwa mau mendengarkan, sekurang-kurangnya sedikit, suara hati nurani dan bisikan - yakni, bisikan-bisikan - Roh Kudus! Aku katakan “sekurang-kuranya sedikit,” sebab sekali kita membuka diri terhadap pengaruh Roh Kudus, Ia sendiri akan menggenapi apa yang kurang dalam diri kita.

(360) Tahun Baru 1935.

Yesus suka campur tangan dalam hal-hal yang paling kecil di dalam hidup kita, dan Ia sering menggenapi keinginan-keinginanku yang tersembunyi yang kadang-kadang sengaja aku sembunyikan dari Dia, meskipun aku tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat disembunyikan dari Dia.

Pada hari Tahun Baru, ada suatu kebiasaan di antara kami untuk menentukan dengan undian pelindung khusus bagi kami masing-masing untuk sepanjang tahun. Pada pagi hari, sementara meditasi, muncul di dalam diriku suatu keinginan tersembunyi agar Yesus yang hadir dalam Ekaristi menjadi pelindung istimewaku sepanjang tahun ini, sama seperti tahun yang lalu. Tetapi, sembari menyembunyikan keinginan ini dari Kekasihku, aku berbicara dengan Dia mengenai segala sesuatu keculai mengenai keinginan yang satu itu. Ketika kami sampai di ruang makan untuk sarapan, kami membuat tanda salib dan mulai mengundi pelindung kami. Ketika aku mendekati gambar-gambar suci di mana nama para pelindung tertulis, tanpa ragu aku mengambil satu, tetapi aku langsung tidak membaca nama yang tertulis di sana karena aku ingin bermati raga selama beberapa menit. Tiba-tiba, aku mendengar suatu suara di dalam jiwaku, “Akulah Pelindungmu. Bacalah!” Aku langsung menatap tulisan pada kartu itu dan membacanya, “Pelindung untuk Tahun 1935 - Ekaristi Yang Mahakudus.” Hatiku melonjak kegirangan, dan dengan diam-diam aku menyingkir dari tengah para suster dan pergi melakukan kunjungan singkat kepada Sakramen Mahakudus; di sana aku menumpahkan isi hatiku. Tetapi, Yesus dengan lembut menasihati aku supaya pada saat itu aku berada bersama para suster. Demi ketaatan kepada peraturan, seketika itu juga aku pergi.

(361) Tritunggal Kudus, Allah Yang Esa, keagungan kerahiman-Mu tak dapat dipahami oleh makhluk mana pun, tertuju secara khusus kepada orang-orang berdosa yang malang! Tetapi, engkau telah memperkenalkan lubuk kerahiman-Mu yang tak dapat dipahami dan [sungguh] tak terselami oleh pikiran mana pun, entah pikiran manusia entah pikiran malaikat. Kehampaan dan kepapaan kami tenggelam di dalam keagungan-Mu. O Kebaikan yang tiada tara, siapa dapat memuji Engkau secara memadai? Dapatkah ditemukan suatu jiwa yang memahami Engkau dalam kasih-Mu? Ya Yesus, jiwa seperti itu memang ada, tetapi tidak banyak.

(362) Pada suatu hari, dalam meditasi pagi, aku mendengar suara ini, “Aku sendirilah pembimbing rohanimu; dulu, sekarang, dan kelak Aku tetap pembimbing rohanimu. Dan karena engkau meminta pertolongan yang kelihatan, Aku memilih dan memberimu seorang pembimbing rohani bahkan sebelum engkau memintanya karena karya-Ku menuntutnya. Ketahuilah bahwa kesalahan-kesalahan yang engkau lakukan terhadapnya melukai Hati-Ku. Secara khusus, waspadalah terhadap keinginan pribadimu; bahkan hal yang paling kecil pun hendaknya diberi meterai ketaatan.”

Dengan hati yang remuk redam dan rendah, aku memohon ampun kepada Yesus atas kesalahan-kesalahan itu. Aku juga mohon ampun kepada pembimbing rohaniku dan memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa daripada melakukan banyak hal tetapi salah.

(363) Ya Yesus yang baik, aku bersyukur kepada-Mu atas rahmat agung yang Kauberikan kepadaku, yakni memberitahukan kepadaku siapa diriku sesungguhnya: kepapaan dan dosa, dan tidak ada apa-apanya sedikit pun. Dari diriku sendiri, aku hanya dapat melakukan satu hal, yakni melukai Hati-Mu, ya Allahku, sebab kepapaan tidak dapat melakukan apa-apa dari dirinya sendiri selain melukai Hati-Mu, ya Kebaikan yang tak terbatas.

(364) Pernah, aku diminta mendoakan suatu jiwa tertentu. Seketika itu juga aku melakukan novena kepada Tuhan yang maharahim, yang aku tambah dengan suatu mati raga; yakni bahwa aku akan mengenakan rantai pada kedua kakiku selama misa kudus. Aku telah melakukan hal ini selama tiga hari ketika aku pergi ke pengakuan dosa dan memberitahukan kepada pembimbing rohaniku bahwa aku telah melaksanakan mati raga ini, dengan mengandaikan bahwa aku akan mendapat izin untuk melakukannya. Aku pikir bapak pengakuan tidak akan keberatan, tetapi aku mendengar yang sebaliknya; yakni bahwa aku tidak boleh melakukan apa pun tanpa izin. Ya Yesusku, lagi-lagi itu adalah keinginan pribadiku! Tetapi, kegagalanku tidak mengendurkan semangatku; aku tahu dengan sangat  baik bahwa aku sendiri ini malang. Karena keadaan kesehatanku, aku tidak menerima izin ini, dan pembimbing rohaniku heran bagaimana mungkin aku dapat melakukan mati raga-mati raga yang lebih besar tanpa izin darinya. Aku minta maaf atas sikap menuruti kemauan sendiri, atau lebih tepat karena telah mengandaikan bahwa akan mendapat izin, dan aku minta kepadanya untuk mengubah mati raga ini dengan mati raga yang lain.

Pembimbing rohaniku menggantinya dengan suatu mati raga batin; yakni, selama misa kudus aku harus merenungkan mengapa Tuhan Yesus telah menerima baptisan. Bagiku, meditasi bukanlah mati raga karena berpikir tentang Allah adalah suatu kesukaan dan bukan suatu mati raga; tetapi ini menjadi mati raga kehendak dalam arti bahwa aku tidak melakukan [hanya] yang aku sukai, tetapi apa yang diperintahkan kepadaku, dan di sinilah letak mati raga batin itu.

(365) Ketika aku meninggalkan kamar pengakuan dan mulai mendaraskan penitensiku, aku mendengar kata-kata ini, “Aku telah memberikan rahmat yang engkau minta atas nama jiwa itu, bukan karena mati raga yang engkau pilih sendiri. Tetapi karena ketaatan penuhmu kepada wakil-Kulah Aku memberikan rahmat ini kepada jiwa yang engkau doakan dan engkau mohonkan kerahiman. Ketahuilah bahwa ketika engkau mematikan kehendakmu sendiri, kehendak-Ku meraja di dalam dirimu.”

(366) Ya Yesusku, bersabarlah terhadap aku. Di masa depan, aku akan lebih waspada. Aku akan mengandalkan bukan diriku sendiri, tetapi rahmat-Mu dan kebaikan-Mu yang amat besar kepada aku yang papa ini.

(367) Pada suatu kesempatan, Yesus memberitahukan kepadaku bahwa ketika aku berdoa untuk ujud-ujud yang dipercayakan orang kepadaku, Ia selalu siap memberikan rahmat-Nya, tetapi jiwa-jiwa tidak selalu mau menerimanya. “Hati-Ku meluap-luap mengalirkan kerahiman yang melimpah kepada jiwa-jiwa, teristimewa kepada jiwa orang-orang berdosa yang malang. Kalau saja mereka memahami bahwa Aku adalah Bapa yang paling baik bagi mereka, dan bahwa bagi merekalah Darah serta Air mengalir dari Hati-Ku seperti dari mata air jernih yang meluapkan kerahiman! Bagi mereka, Aku tinggal di dalam tabernakel sebagai Raja Kerahiman. Aku ingin melimpahkan rahmat-Ku kepada jiwa-jiwa, tetapi mereka tidak mau menerimanya. Sekurang-kurangnya engkau, datanglah kepada-Ku sesering mungkin, dan ambillah rahmat-rahmat yang mereka tolak itu. Dengan cara ini, engkau akan menghibur Hati-Ku. Oh, betapa acuh tak acuh jiwa-jiwa itu kepada kebaikan-Ku yang sedemikian besar, kepada begitu banyak bukti cinta-Ku! Yang diminum Hati-Ku hanyalah sikap tidak tahu terima kasih dan sikap tidak mau tahu dari jiwa-jiwa yang hidup di dunia. Mereka memiliki waktu untuk datang kepada-Ku guna mengambil rahmat.”

“Maka aku berpaling kepadamu! Hai kamu - jiwa-jiwa pilihan - apakah kamu juga akan gagal memahami kasih Hati-Ku? Di sini pun Hati-Ku telah dikecewakan; aku tidak menemukan orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada kasih-Ku. Begitu banyak syarat, begitu banyak ketidakpercayaan, begitu banyak kekhawatiran. Untuk menghiburmu, biarlah Aku katakan kepadamu bahwa ada jiwa-jiwa yang hidup di dunia ini yang mengasihi Aku dengan mesra. Aku bersemayam dalam hati mereka dengan penuh sukacita. Tetapi, jumlah mereka tidak banyk. Di biara-biara pun, ada jiwa-jiwa yang memenuhi Hati-Ku dengan sukacita. Mereka mengemban ciri-ciri-Ku; oleh karena itu, Bapa surgawi memandang mereka dengan kepuasan yang istimewa. Mereka akan dikagumi oleh malaikat dan manusia. Jumlah mereka sangat sedikit. Bagi dunia, mereka adalah suatu pembelaan di hadapan keadilan Bapa surgawi dan sarana untuk memperoleh kerahiman bagi dunia. Kasih dan pengurbanan jiwa-jiwa ini menopang keberadaan dunia. Ketidaksetiaan suatu jiwa yang Kupilih secara khusus melukai Hati-Ku dengan paling menyakitkan. Ketidaksetiaan seperti itu adalah pedang yang menembus Hati-Ku.”

(368) 29 Januari 1935. Selasa pagi ini, dalam meditasi, dengan mata batinku, aku melihat Bapa Suci sedang merayakan misa. Sesudah Pater noster, ia berbicara dengan Yesus tentang masalah yang telah Yesus perintahkan kepadaku untuk kuberitahukan kepadanya. Meskipun secara pribadi aku belum berbicara dengan Bapa Suci, masalah ini sudah mendapat perhatian dari seseorang yang lain; tetapi pada saat ini juga, berkat pengetahuan batin, aku mengetahui bahwa Bapa Suci sedang mempertimbangkan masalah yang akan segera terjadi sesuai dengan keinginan-keinginan Yesus ini.

(369) Sebelum retret delapan hari, aku pergi kepada pembimbing rohaniku dan minta kepadanya untuk mengizinkan aku melakukan beberapa mati raga selama retret. Tetapi, aku tidak mendapat izin untuk semua yang aku minta; hanya untuk beberapa saja aku mendapat izin. Aku mendapat izin untuk satu jam merenungkan sengsara Tuhan Yesus dan untuk beberapa mati raga. Tetapi, aku merasa sedikit kurang puas karena tidak menerima izin untuk semua mati raga yang aku minta. Ketika aku kembali ke biara, aku masuk ke kapel sejenak, dan kemudian aku mendengar suara dalam jiwaku, “Lebih besar pahalanya satu jam merenungkan sengsara-Ku yang memilukan daripada satu tahun mendera diri sampai mengeluarkan darah; kontemplasi pada luka-luka-Ku yang pedih membawa manfaat yang besar bagimu, dan mendatangkan sukacita yang besar kepada-Ku. Aku heran bahwa engkau masih belum sepenuhnya menyangkal kehendakmu sendiri, tetapi Aku amat sangat bersukacita bahwa perubahan ini akan terjadi selama retret.”

(370) Pada hari itu juga ketika aku berada di gereja menunggu pengakuan dosa, aku melihat sinar seperti yang sudah-sudah memancar dari monstran dan menyebar ke seluruh gereja. Ini berlangsung selama ibadat. Sesudah Kebaktian kepada Sakramen Mahakudus [sinar memancar] ke kedua sisi gereja dan kembali lagi ke monstrans. Sinar itu tampak cemerlang dan transparan seperti kristal. Aku minta kepada Yesus agar Ia berkenan menyalakan api cinta-Nya dalam semua jiwa yang telah menjadi beku. Di bawah sinar-sinar itu, hati akan menjadi hangat, juga kalau sebelumnya ia beku seperti suatu balok es; demikian juga, kalau sebelumnya ia keras seperti batu, ia akan remuk menjadi debu.

Vilnius, 4 Februari 1935.

Retret Delapan Hari.

Yesus, Raja Kerahiman, sekali lagi tiba saatnya aku akan sendirian bersama-Mu. Oleh karena itu, aku mohon kepada-Mu, demi segala cinta yang membakar Hati-Mu, untuk menghancurkan sama sekali cinta diri yang masih ada dalam diriku dan di lain pihak untuk menyalakan dalam hatiku apa cinta-Mu yang paling murni.

(372) Pada petang hari, sesudah konferensi, aku mendengar kata-kata ini, “Aku menyertaimu. Selama retret ini, Aku akan menguatkan engkau dalam damai dan dalam keberanian sehingga kekuatanmu tidak akan gagal melaksanakan rencan-rencana-Ku. Oleh karena itu, dalam retret ini, engkau akan membatalkan sama sekali seluruh kehendak-Mu dan, sebaliknya, seluruh kehendak-Ku akan terlaksana dalam dirimu. Ketahuilah bahwa dalam hal ini engkau harus menanggung banyak pengurbanan; maka tuliskanlah kata-kata ini pada selembar kertas kosong, ‘Mulai hari ini, aku melaksanakan kehendak Allah di mana saja, kapan saja, dan dalam apa saja.’ Janganlah takut akan suatu pun; kasih akan memberimu kekuatan dan membuat pelaksanaan kehendak-Ku itu menjadi mudah.”

(373) Renungan utama dalam retret ini mengenai tujuan hidup; yakni tentang memilih cinta: jiwa harus mencintai; ia mempunyai kebutuhan untuk mencintai. Jiwa harus mengalihkan arus cintanya, bukan kepada lumpur atau kepada kesia-siaan, tetapi kepada Allah. Betapa aku bersukcita ketika aku merenungkan hal ini karena aku merasakan dengan jelas bahwa Ia sendiri berada di dalam hatiku. Hanya Yesus sendiri yang ada di sana! Aku mencintai makhluk sejauh mereka membantuku untuk bersatu dengan Allah. Aku mengasihi semua orang sebab aku melihat gambar Allah di dalam mereka.

(374) Vilnius, 4 Februari 1935.

Mulai hari ini, kehendakku sendiri sudah tidak ada.

Pada saat aku berlutut untuk menyalibkan kehendakku sendiri, seperti  telah diminta Tuhan untuk kulakukan, aku mendengar suara ini di dalam jiwaku, “Mulai hari ini, jangan takut akan penghakiman Allah sebab engkau tidak akan dihakimi.”

Vilnius, 4 Februari 1935.

Mulai hari ini, aku akan melakukan Kehendak Allah di mana saja, kapan saja dan dalam apa saja.

Vilnius, 4 Februari 1935

(375) Latihan batin khusus; yakni, pemeriksaan batin. Penyangkalan diri, penyangkalan kehendakku sendiri.

(a) Penyangkalan akal budiku, artinya menaklukkannya kepada pemikiran orang-orang yang menjadi wakil Allah bagiku di bumi ini.

(b) Penyangkalan kehendak, artinya melakukan kehendak Allah, yang dinyatakan dalam kehendak orang-orang yang menjadi wakil Allah bagiku dan yang terkandung dalam peraturan Kongregasi kami.

(c) Penyangkalan keputusan sendiri, artinya menerima tanpa menimbang-nimbang, menganalisis atau mempertanyakan semua perintah yang diberikan oleh orang-orang yang menjadi wakil Allah bagiku.

(d) Penyangkalan lidah. Aku tidak akan memberinya kebebasan yang paling kecil sekalipun; hanya dalam satu hal aku akan memberinya kebebasan penuh, yakni dalam memaklumkan kemuliaan Allah. Kapan saja aku menerima komuni kudus, aku akan minta kepada Yesus untuk memperkuat dan membersihkan lidahku supaya aku tidak dapat melukai hati sesamaku dengan lidahku. Itulah sebabnya aku memiliki hormat yang sangat besar kepada peraturan yang berbicara tentang silentium.

(376) Yesusku, aku berharap bahwa rahmat-Mu akan membantu aku melaksanakan semua keputusan ini. Meskipun butir-butir di atas sudah tercakup dalam kaul ketaatan, aku ingin melaksanakan hal-hal ini secara istimewa sebab inilah hakikat kehidupan membiara. Yesus yang maharahim, aku mohon kepada-Mu dengan sungguh-sungguh untuk menerangi pikiranku sehingga aku dapat mengenal Engkau dengan lebih baik:  Engkau adalah Yang Tak Terbatas, dan supaya aku dapat mengenal diriku sendiri dengan lebih baik: aku adalah kehampaan belaka.

(377) Mengenai pengakuan dosa. Kita harus memetik dua macam manfaat dari pengakuan dosa.

1. Kita pergi ke pengakuan dosa untuk disembuhkan;

2. Kita pergi ke pengakuan dosa untuk dididik - seperti seorang anak kecil, jiwa kita memiliki kebutuhan lestari akan pendidikan.

Ya Yesus, aku memahami kata-kata ini sedalam-dalamnya, dan aku mengetahuinya berdasarkan pengalamanku sendiri bahwa, atas dasar kekuatannya sendiri, jiwa tidak akan maju; ia akan bersusah payah dan tidak melakukan apa-apa untuk kemuliaan Allah; ia akan terus menerus sesat sebab pikirannya digelapkan dan tidak tahu bagaimana mencermati masalah-masalahnya sendiri. Aku akan memberikan perhatian istimewa kepada dua hal: pertama, dalam melakukan pengakuan dosaku, aku akan mengutamakan dosa yang paling merendahkan  diriku, juga kalau dosa itu akan tampak remeh, tetapi itu sangat berat bagiku, dan karena alasan itu aku akan mengatannya; kedua, aku akan mengamalkan penyesalan, bukan hanya selama pengakuan dosa, tetapi selama pemeriksaan batin, dan aku akan membangkitkan dalam diriku suatu sesal sempurna, khususnya ketika aku pergi tidur. Satu kata lagi: jiwa yang sungguh mau maju dalam kesempurnaan harus mematuhi secara ketat nasihat yang diberikan oleh pembimbing rohani. Semakin besar kepercayaan kita kepadanya, semakin kuduslah kita.

(378) Pernah ketika aku sedang berbicara dengan pembimbing rohaniku, aku mendapat suatu penglihatan batin - yang lebih cepat daripada kilat - aku melihat jiwanya berada dalam penderitaan yang berat, seolah-olah dalam sakratulmaut. Tidak banyak jiwa disambar Allah dengan api itu. Penderitaan itu muncul dari karya ini. Akan tiba saatnya karya yang sangat dituntut oleh Allah ini akan terasa sungguh-sungguh hancur total. Dan kemudian Allah akan bertindak dengan kekuatan yang besar, yang akan membuktikan karya ini sungguh-sungguh karya-Nya. Karya ini akan menjadi suatu semarak baru bagi Gereja, meskipun sudah lama sekali karya ini dimilikinya. Bahwa Allah itu maharahim, tak seorang pun dapat menyangkalnya. Tetapi, Ia menginginkan agar setiap orang mengetahui hal ini sebelum Ia datang kembali sebagai Hakim. Ia ingin jiwa-jiwa mengenal Dia pertama-tama sebagai Raja Kerahiman. Apabila kemenangan ini tiba, kita sudah akan memasuki kehidupan baru, tempat tidak akan ada lagi penderitaan. Tetapi, sebelum ini terjadi, jiwamu [jiwa pembimbing rohaniku] akan kenyang dengan kepahitan, yaitu waktu menyaksikan kehancuran usaha-usahamu. Tetapi, kehancuran ini hanyalah semu sebab apa yang sudah diputuskan Allah tidak akan Ia ubah. Memang, kehancuran ini akan semu tetapi penderitaan itu akan sungguh nyata. Kapan semua ini akan terjadi? Aku tidak tahu. Tetapi Allah telah menjanjikan rahmat yang besar, khususnya kepadamu dan kepada semua orang “... yang akan memaklumkan kerahiman-Ku yang besar. Pada saat mereka menghadapi ajal, Aku sendiri akan melindungi mereka sebagai kemuliaan-Ku sendiri. Dan kalaupun dosa-dosa suatu jiwa tampak hitam seperti malam kelam, apabila pendosa itu berpaling kepada kerahiman-Ku, ia akan mempersembahkan pujian yang paling besar kepada-Ku, dan ia merupakan mahkota kemuliaan untuk sengsara-Ku. Apabila suatu jiwa memuji kebaikan-Ku, setan akan gemetar di hadapannya dan melarikan diri ke dasar neraka yang paling dalam.”

(379) Dalam salah satu adorasi, Yesus berjanji kepadaku bahwa, “Jiwa-jiwa yang meminta pertolongan kepada kerahiman-Ku, dan yang memuliakan serta memaklumkan kerahiman-Ku yang besar, pada saat kematiannya mereka akan Kuperlakukan sesuai dengan kerahiman-Ku yang tak terbatas.”
“Hati-Ku sangat sedih,” kata Yesus, “karena bahkan jiwa-jiwa yang terpilih tidak memahami begitu besarnya kerahiman-Ku. Hubungan mereka [dengan-Ku], dalam kadar tertentu, penuh dengan keragu-raguan. Oh, betapa sikap mereka itu menyayat Hati-Ku! Ingatlah akan sengsara-Ku, dan kalau engkau tidak percaya akan kata-kata-Ku, sekurang-kurangnya percayalah akan luka-luka-Ku.”

(380) Aku tidak beranjak, aku tidak bergerak mengikuti kemauanku sendiri sebab aku dibelenggu oleh rahmat; aku selalu memikirkan apa yang lebih berkenan di Hati Yesus.

(381) Sekali waktu ketika merenungkan ketaatan, aku mendengar kata-kata ini, “Dalam renungan ini, secara khusus imam ini sedang berbicara untukmu. Ketahuilah bahwa bibirnya sedang Aku pinjam.” Aku berusaha mendengarkan semua renungannya dengan penuh perhatian dan menerapkan segala sesuatu kepada hatiku sendiri, seperti dalam setiap meditasi. Ketika imam berkata bahwa jiwa yang taat akan dipenuhi dengan kekuasaan Allah “... Sungguh, apabila engkau taat, Aku mengambil kelemahanmu dan menggantinya dengan kekuatan-Ku. Aku sangat heran bahwa jiwa-jiwa tidak mau melakukan pertukaran itu dengan-Ku.” Aku berkata kepada Tuhan, “Yesus, terangilah hatiku sebab kalau tidak, aku pun tidak akan sungguh memahami kata-kata ini.”

(382) Aku tahu bahwa aku hidup bukan untuk diriku sendiri, tetapi untuk sejumlah besar jiwa-jiwa. Aku tahu bahwa rahmat Yesus diberikan kepadaku bukan hanya untuk diriku, melainkan juga untuk jiwa-jiwa. Ya Yesus, samudra kerahiman-Mu sudah ditumpahkan ke dalam jiwaku yang adalah lubuk kepapaan belaka. Syukur kepada-Mu, ya Yesus, atas rahmat dan butir-butir salib yang Kauberikan kepadaku setiap saat dalam hidupku.

(383) Pada awal retret, aku melihat pada langit-langit kapel Yesus yang terpaku pada salib. Ia memandang para suster dengan kasih yang membara, tetapi tidak semua suster Ia tatap. Ada tiga suster yang ditatap Yesus dengan mata tajam; apa alasannya aku tidak tahu. Aku hanya tahu betapa mengerikan menyaksikan tatapan mata seorang Hakim yang keras. Tatapan itu tidak diarahkan kepadaku, tetapi aku serasa lumpuh oleh katakutan. Aku masih gemetar ketika menuliskan kata-kata ini. Aku tidak berani mengucapkan satu patah kata pun kepada Yesus. Kekuatan fisikku tidak memungkinkan aku berbuat demikian, dan aku pikir aku tidak akan bertahan hidup sampai akhir konferensi. Keesokan harinya, aku melihat hal sama lagi, sama seperti yang kulihat pada pertama kali, dan saat ini aku berani mengucapkan kata-kata ini, “Yesus, betapa besarnya kerahiman-Mu!”

Pada hari ketiga, terulang kembali tatapan mata yang penuh kebaikan atas semua suster, kecuali atas ketiga suster itu. Aku menghimpun seluruh keberanianku, yang memancar karena cintaku akan sesama, dan aku berkata kepada Tuhan, “Engkau adalah Sang Kerahiman, seperti Kaukatakan sendiri kepadaku. Maka aku mohon kepada-Mu, demi kekuatan kerahiman-Mu, pandanglah dengan penuh belas kasih juga ketiga suster itu. Dan kalau ini tidak selaras dengan kebijaksanaan-Mu, aku emohon kepada-Mu suatu pertukaran: arahkan kepada mereka tatapan penuh kasih yang Kauarahkan kepada jiwaku, dan arahkan kepadaku tatapan mata-Mu yang tajam kepada mereka itu.” Kemudian Yesus menyampaikan kata-kata ini kepadaku, “Putri-Ku, karena kasihmu yang tulus dan murah hati, Aku memberi mereka banyak rahmat meskipun mereka sendiri tidak memintanya dari Aku. Tetapi, Aku berbuat begitu karena janji yang sudah Kusampaikan kepadamu.” Dan pada saat itu, Ia memalingkan tatapan mata yang rahim kepada ketiga suster itu juga. Hatiku melonjak kegirangan menyaksikan kebaikan Allah.

(384) Ketika aku tinggal untuk adorasi dari pukul sembilan sampai pukul sepuluh, empat suster lain juga tinggal. Ketika aku menghampiri altar dan mulai merenungkan sengsara Tuhan Yesus, seketika itu juga jiwaku dipenuhi dengan suatu penderitaan yang mengerikan karena sikap tidak tahu terima kasih dari begitu banyak jiwa yang hidup di dunia; tetapi yang lebih menyakitkan adalah sikap tak tahu terima kasih dari jiwa-jiwa yang secara khusus dipilih oleh Allah. Tidak ada gambaran atau perbandingan [yang dapat melukiskannya]. Ketika menyaksikan sikap tak tahu terima kasih yang paling kelam ini, aku merasa seolah-olah hatiku tercabik-cabik; kekuatanku tak mampu menopang diriku lagi, dan aku jatuh tertelungkup, tanpa berusaha menyembunyikan tangisanku yang keras. Setiap kali aku memikirkan kerahiman Allah yang besar dan sikap tak tahu terima kasih dari jiwa-jiwa, rasa sakit menusuk hatiku, dan aku tahu betapa sakitnya ia melukai Hati Yesus yang teramta manis. Dengan hati yang bernyala-nyala, aku membarui penyerahan diriku atas nama orang-orang berdosa.

(385) Dengan sukacita dan sekaligus kepedihan, aku menempelkan bibirku pada piala kepahitan yang setiap hari aku terima di dalam misa kudus. Itulah bagian yang setiap kali telah disisihkan Yesus bagiku, dan aku tidak akan mengalihkannya kepada seorang pun. Aku akan terus menerus menghibur Hati Ekaristis yang teramat manis dan akan memainkan lagu yang indah pada senar-senar hatiku. Penderitaan adalah lagu paling merdu di antara semua lagu. Hari ini, dengan gigih aku akan mencari apa yang dapat membuat Hati-Mu bersukacita!

Hari-hari hidupku penuh dengan variasi. Apabila awan kelam menutup matahari, laksana rajawali aku akan berusaha menyibak gugusan awan itu dan menunjukkan kepada semua orang bahwa matahari tidak padam.

(386) Aku merasa Allah akan mengizinkan aku menyingkirkan selubung sehingga bumi tidak akan meragukan kebaikan Allah. Allah tidak tunduk kepada gerhana atau perubahan musim. Ia selalu satu dan sama; tidak ada suatu pun yang dapat menentang kehendak-Nya. Aku merasakan dalam diriku suatu kekuatan yang lebih besar daripada kekuatan manusia. Berkat rahmat yang ada dalam diriku, aku merasakan keberanian dan kekuatan yang tinggal dalam diriku. Aku memahami jiwa-jiwa yang menderita karena kehilangan harapan, karena aku sendiri telah mengalami api itu. Tetapi Allah tidak akan memberikan [sesuatu kepada kita] melampaui kekuatan kita. Sudah sering aku hidup dengan harapan yang bertentangan dengan harapan, dan telah mengembangkan harapanku menjadi kepercayaan penuh kepada Allah. Biarlah apa yang telah Ia tetapkan sejak awal mula terjadi padaku.

Suatu Asas Umum

(387) Adalah sesuatu yang amat buruk bagi seorang biarawati untuk mencari kelegaan dalam penderitaan.

(388) Rahmat dan renungan dapat mengubah penjahat yang paling besar! Dia yang rela mati memiliki cinta yang besar: “Ingatlah akan daku apabila Engkau sudah berada di Firdaus.” Penyesalan sepenuh hati tiba-tiba mengubah suatu jiwa. Kehidupan rohani harus dihayati dengan serius dan tulus.

(389) Kasih harus timbal balik. Kalau Yesus mengecap kepenuhan kepahitan demi aku, maka aku, mempelai-Nya, harus mau menerima semua kepahitan sebagai bukti kasihku pada-Nya.

(390) Dia yang tahu memberi ampun menyediakan bagi dirinya sendiri banyak rahmat dari Allah. Seberapa sering aku memandang salib, sesering itulah aku akan memberi ampun dengan segenap hatiku.

(391) Melalui Baptis kudus, kita masuk dalam kesatuan dengan jiwa-jiwa lain. Kematian mempererat ikatan cinta. Aku harus selalu siap menolong orang-orang lain. Kalau aku ini seorang biarawati yang baik, aku akan bermanfaat, bukan hanya kepada Kongregasi, tetapi juga bagi seluruh Tanah Air.

(392) Tuhan Allah memberikan rahmat-rahmat-Nya dalam dua cara: lewat ilham dan lewat penerangan. Kalau kita minta suatu rahmat kepada Allah, Ia akan memberikannya kepada kita; tetapi hendaklah kita ikhlas menerimanya. Dan untuk menerimanya, diperlukan penyangkalan diri. Cinta tidak terungkap dalam kata-kata atau perasaan, tetapi dalam perbuatan. Cinta adalah tindakan dari kehendak; cinta adalah suatu pemberian; maksudnya, rela memberikan diri. Budi, kehendak, hati - ketiga kemampuan ini harus dilatih pada waktu berdoa. Dalam Yesus, aku akan bangkit dari antara orang mati, tetapi pertama-tama aku harus hidup di dalam Dia. Kalau aku tidak memisahkan diri dari salib, maka Injil akan dinyatakan dalam diriku. Yesus yang ada dalam diriku melengkapi semua kekuranganku. Rahmat-Nya bekerja tanpa henti. Tritunggal kudus menganugerahkan hidup-Nya secara melimpah kepadaku, lewat anugerah Roh Kudus. Ketiga Pribadi ilahi hidup di dalam diriku. Apabila Allah mengasihi, maka Ia mengasihi dengan seluruh keberadaan-Nya, dengan seluruh kekuatan keberadaan-Nya. Kalau Allah telah mengasihi aku dengan cara ini, betapa aku harus menanggapinya - aku, mempelai-Nya?!

(393) Dalam suatu konferensi, Yesus berkata kepadaku, “Engkau adalah anggur manis dalam suatu tandan pilihan; Aku ingin agar orang-orang lain ikut menikmati air anggur yang mengalir di dalam dirimu.”

(394) Dalam pembaruan kaul, aku melihat Tuhan Yesus pada sisi Epistola [dari altar], mengenakan jubah putih dengan ikat pinggang emas dan memegang pedang yang mengerikan di tangan-Nya. Ini berlangsung sampai saat suster mulai membarui kaul mereka. Kemudian aku melihat cahaya berkilau-kilauan yang tak ada bandingnya dan, di depan cahaya gemilang ini, suatu awan putih dalam bentuk timbangan, dan langsung menjungkit ke bawah sampai hampir menyentuh tanah. Sesaat kemudian para suster selesai membarui kaul mereka. Kemudian aku melihat para malaikat mengambil sesuatu dari setiap suster dan menempatkannya dalam wadah emas yang berbentuk seperti pedupaan. Ketika mereka selesai mengumpulkannya dari semua suster dan menempatkan wadah itu pada sisi lain dari timbangan, seketika itu juga menjadi lebih berat dan mengangkat sisi lain di mana pedang diletakkan. Pada saat itu, suatu nyala keluar dari pedupaan dan meluncur ke arah cahaya. Kemudian aku mendengar suatu suara datang dari cahaya yang terang benderang itu, “Masukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya; pengurbanan lebih berat daripada pedang itu.” Saat itu juga Yesus memberkati kami, dan semua yang aku lihat itu lenyap. Para suster sudah mulai menerima komuni kudus. Ketika aku menyambut komuni kudus, jiwaku dipenuhi dengan sukacita yang sedemikian besar sehingga aku tidak mampu melukiskannya.

(395) 15 Februari 1935. Kunjungan beberapa hari ke rumah orang tuaku untuk mendampingi ibuku yang menghadapi ajal.

Ibuku sakit keras dan hampir meninggal. Ketika aku tahu bahwa ia minta agar aku pulang karena ia ingin melihat aku sekali lagi sebelum meninggal, suatu gejolak emosi muncul dalam hatiku. Sebagai seorang anak yang sungguh mengasihi ibunya, aku sangat ingin memenuhi harapannya. Tetapi, aku menyerahkan ini kepada Allah dan menyerahkan diriku sepenuhnya kepada kehendak-Nya. Tanpa memperhatikan rasa sakit dalam hatiku, aku mengikuti kehendak Allah. Pada pagi hari pesta namaku, lima belas Februari, Muder Superior memberiku surat kedua dari keluargaku dan memberi izin untuk pergi ke rumah orang tua, untuk memenuhi harapan dan permintaan ibuku yang menghadapi ajal. Aku langsung mengadakan persiapan yang perlu untuk perjalanan itu dan meninggalkan Vilnius pada malam hari. Aku mempersembahkan seluruh malam itu untuk ibuku yang sakit parah, agar Allah berkenan memberi dia rahmat, tidak kehilangan suatu pun dari pahala penderitaannya.

(396) Teman-teman seperjalananku sangat baik; beberapa perempuan dari Solidaritas Maria berada dalam gerbong yang sama dengan aku. Aku merasa salah seorang dari mereka sedang menderita amat sangat dan bergulat dalam pertempuran yang sulit dalam jiwanya. Dalam roh aku mulai berdoa untuk jiwa itu. Pada pukul sebelas, perempuan-perempuan itu pindah ke gerbong lain untuk bercanda, meninggalkan kami berdua di gerbong belakang kereta itu. Aku merasa bahwa doaku membuat pergulatan jiwa itu justru semakin sengit. Aku tidak menghibur dia, tetapi berdoa dengan lebih khusyuk. Akhirnya, perempuan itu berpaling kepadaku dan bertanya apakah ia wajib memenuhi suatu janji yang telah ia ikrarkan kepada Alah. Pada saat itu, aku menerima bisikan batin mengenai janji itu dan menjawab, “Engkau mutlak wajib memenuhinya; kalau tidak, engkau akan merana sepanjang sisa hidupmu. Pikiran ini akan terus menghantuimu dan membuat engkau terus merasa gelisah.” Kagum akan jawabanku, ia membuka seluruh jiwanya kepadaku.

Ia adalah seorang guru sekolah. Ketika ia akan menempuh ujian-ujiannya, ia telah berjanji kepada Allah bahwa kalau ia lulus dalam ujian itu, ia akan membaktikan diri untuk melayani Tuhan; yakni, masuk suatu Kongregasi hidup membiara. Ia lulus ujian dengan sangat baik. “Tetapi,” katanya, “ketika aku masuk ke dalam hiruk pikuk dunia kerja, aku tidak lagi ingin masuk biara. Tetapi, suara hatiku terus menerus menggelisahkan aku, dan meskipun menikmati banyak hiburan, aku selalu tidak bahagia.”

Sesudah percakapan panjang lebar, ia sama sekali berubah dan mengatakan kepadaku bahwa ia akan langsung mengambil langkah untuk masuk biara. Ia minta kepadaku untuk mendoakannya, dan aku marasa bahwa Allah sungguh murah hati dengan rahmat-Nya.

(397) Pagi itu aku tiba di Warsawa, dan pada pukul delapan petang aku sudah di rumah orang tuaku. Betapa besar sukacita orang tuaku dan seluurh keluarga! Sangat sulit untuk melukiskannya. Kesehatan ibuku membaik sedikit, tetapi dokter tidak memberikan harapan untuk kesembuhan penuh. Sesudah saling memberi salam, kamu langsung bersujud untuk bersyukur kepada Allah atas rahmat dapat berkumpul sekali lagi dalam kehidupan ini.

(398) Ketika aku melihat begaimana ayahku berdoa, aku sangat malu bahwa, sesudah begitu lama berada di biara, aku tidak mampu berdoa dengan ketulusan dan kekhusyukan seperti itu. Maka, tak pernah berhenti aku bersyukur kepada Allah atas orang tua seperti ini.

(399) Oh, betapa segala sesuatu telah berubah selama sepuluh tahun ini sehingga tak dapat dikenal lagi! Kebun telah menjadi sedemikian sempit dan sekarang aku tidak dapat mengenalinya. Saudara dan saudariku dulu masih anak-anak dan kini mereka semua sudah dewasa. Aku kagum mendapati mereka tidak seperti ketika kami berpisah. Setiap hari Stasio menemani aku pergi ke gereja. Aku merasa bahwa ia sangat menyenangkan hati Allah.


(400) Pada hari terakhir ketika semua orang sudah meninggalkan gereja, aku pergi ke hadapan Sakramen Mahakudus bersama dia, dan bersama-sama kami mendaras Te Deum. Sesudah saat hening sejenak, aku mempersembahkan jiwanya kepada Hati Yesus yang teramat manis. Betapa menyenangkan berdoa dalam gereja yang kecil itu! Aku ingat semua rahmat yang telah aku terima di sana, dan yang tidak aku pahami pada waktu itu dan telah begitu sering aku salah gunakan. Aku bertanya-tanya bagaimana aku dapat menjadi sedemikian buta. Dan ketika aku menyesali kebutaanku itu, tiba-tiba aku melihat Tuhan Yesus, bercaha dengan keindahan yang tak terperikan, dan Ia berkata kepadaku dengan lembut, “Putri pilihan-Ku, Aku akan memberikan kepadamu rahmat yang bahkan lebih besar agar sepanjang kekekalan engkau menjadi saksi kerahiman-Ku yang tak terbatas.”

No comments:

Post a Comment

MARI MEMBACA BUKU HARIAN SANTA FAUSTINA (BHSF)

 Shalom...